Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Guru-guru Bergaji Rp 1.000 Per Hari di Bengkulu

Kompas.com - 10/01/2018, 08:21 WIB
Firmansyah

Penulis


BENGKULU, KOMPAS.com — Suasana perdesaan yang dikelilingi sawah, kolam ikan, dan gemericik air bisa dirasakan di Desa Tik Teleu, Kecamatan Pelabai, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Selasa (9/1/2018).

Tepat di sudut desa yang jauh dari Ibu Kota itu terdapat satu Madrasah Tsanawiyah (MTs) Zikir Pikir yang dirintis pemuda-pemuda setempat yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi, mulai dari gelar strata satu hingga master.

Sekolah yang dibangun pada 2011 itu terlihat memprihatinkan. Separuh gedungnya terbuat dari papan dan semen, sedangkan plafonnya rusak di beberapa bagian.

Gedung tersebut merupakan pinjaman dari pemerintahan desa. Terdapat 38 siswa dan delapan guru sebagai tenaga pengajar.

Dwifa, seorang guru perempuan dan pendiri sekolah, menyebutkan, sekolah itu dibangun atas dasar rasa khawatir akan tingginya angka putus sekolah di daerah itu.

"Jarak sekolah jauh dari desa, angka putus sekolah dari SD menjadi tinggi. Kami akhirnya bersepakat mendirikan sekolah madrasah," kisahnya.

Baca juga: Kisah Memprihatinkan Siswa dan Guru di Pedalaman Bengkulu

Dua tahun berdiri, pada 2011 dan 2012 terdapat 14 tenaga pengajar. Selama dua tahun, 14 guru tidak digaji sama sekali.

"Dua tahun pertama tidak ada gaji. Cuma mengajar. Alhamdulillah bertahan," ujar Dwifa.

Lalu, masuk 2013 hingga 2015, barulah para guru mendapatkan gaji dari Kementerian Agama. Dananya diambil dari Bantuan Operasional Siswa (BOS).

"Tahun 2013 hingga 2015 gaji diterima per bulan sekitar Rp 30.000 dibayar per tiga bulan. Tiga bulan terima Rp 90.000. Gaji sebesar itu berlanjut hingga 2016, barulah naik menjadi Rp 100.000 per bulan," katanya.

Dwifa mengatakan, selain menjadi guru di sekolah itu, ia bersama suami memiliki pekerjaan lain, yaitu sebagai petani.

"Menjadi guru di sini merupakan bentuk kekhawatiran kami atas kondisi kampung halaman. Jadi, enggak mikir gajilah. Untuk kehidupan sehari-hari, saya dan suami menjadi petani," ucapnya.

Baca juga: Akses Literasi Guru dan Siswa Jauh dari Sempurna

Hiriani, guru lainnya, menyebut bahwa ia merupakan guru yang paling yunior karena baru enam bulan bergabung di sekolah itu.

Ia mengaku menjadi guru di sekolah itu atas panggilan hatinya terhadap kampung halaman.

"Saya hanya berharap pengetahuan yang saya miliki dari perguruan tinggi dapat saya bagi buat remaja di desa," katanya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com