Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Mimpi Generasi Milenial di Sorong

Kompas.com - 03/01/2018, 21:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto


SORONG sedang booming. Dengan pertumbuhan PDB sebesar 9,3 persen pada 2016 atau hampir dua kali lipat dari rata-rata PDB nasional, serta berada di titik paling barat Papua, kota berpenduduk 300.000 jiwa ini dengan cepat menjadi pusat transportasi dan logistik regional.

Kemajuannya didorong oleh letak geografisnya yang dekat dengan pulau-pulau Raja Ampat yang terkenal, dan burung cendrawasihnya yang sudah sulit ditemukan.

Namun, Sorong bukanlah kota dengan pemandangan indah. Sebenarnya, kota ini terasa seolah muncul dari semak belukar—kawasan urban yang terbentang beberapa kilometer ke pedalaman dan jauh dari tepi laut yang telah ramai aktivitasnya.

Saat menghabiskan waktu di Papua baru-baru ini, saya sangat penasaran bagaimana generasi anak muda atau kalangan milenial di sana melihat masa depan mereka.

Apakah mereka optimistis? Apakah mereka melihat adanya bandara baru, pelabuhan, dan terbangunnya jalan Trans Papua sebagai pertanda masa depan yang lebih sejahtera?

Bagaimana hubungan antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat pendatang, seperti orang Bugis, Jawa dan Minahasa di sana?

Cerita tiga mahasiswi

Saya bertemu dengan tiga mahasiswi berusia 18 tahun yang bernama Maria Hestina, Maria Korwa dan Mega Imbiri. Ketiganya sedang menjalani pendidikan di salah satu universitas terbesar di kota itu, Universitas Muhammadiyah Sorong.

Latar belakang Maria Hestina tidaklah biasa. Dia berasal dari keluarga transmigran Flores, Nusa Tenggara Timur.

Orang tuanya yang telah bercerai hidup seadanya. Ayahnya adalah seorang buruh, sedangkan ibunya menjual bensin dan buah-buahan di pasar.

Maria Hestina dan saudara perempuannya tinggal bersama ibunya, sementara adik laki-lakinya tinggal bersama ayahnya.

"Sebagai anak paling tua dari tiga bersaudara, dan anak pertama yang sudah kuliah, ada banyak sekali harapan yang disematkan pada saya. Adik perempuan saya berumur 12 tahun, dan adik laki-laki saya baru berumur 7 tahun. Saya harus memberi contoh yang baik untuk mereka," tuturnya.

Sementara itu, keluarga Maria Korwa telah tinggal di Papua selama beberapa generasi. Maria Korwa datang dari keluarga berbeda agama. Ayahnya beragama Islam, sedangkan ibunya pemeluk Kristen.

Seperti halnya kelaziman di Indonesia, saudara laki-laki Maria Korwa beragama Islam, sementara dia dan saudara perempuannya beragama Kristen.

"Seluruh keluarga saya tersebar di seluruh Indonesia. Saya memiliki enam saudara kandung, dua di Jakarta, dua di Raja Ampat, satu di Pulau Doom, dan satu lagi di Manokwari. Ini menyenangkan karena saya tahu, kemana pun saya pergi, saya punya seseorang yang dapat saya andalkan. Suatu hari nanti, saya juga akan membuat jalan hidup sendiri," ujar Maria Korwa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com