BANDA ACEH, KOMPAS.com – Tanggal 26 Desember tak akan pernah dilupakan penduduk Aceh. Pada tanggal itu, 13 tahun silam, separuh Aceh luluh lantak akibat gempa berkekuatan 9,2 SR yang diikuti hantaman gelombang tsunami.
Untuk mengingat hari itu, sejak tiga tahun lalu, Pemerintah Aceh menetapkan tanggal 26 Desember sebagai hari libur daerah. Pemerintah setempat meminta warga untuk melakukan peringatan dengan aneka aktivitas religi dan refleksi.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Reza Fahlevi mengatakan, tahun ini Pemerintah Aceh melalui Disbudpar Aceh yang melibatkan berbagai stakeholder menggelar peringatan tersebut di Kecamatan Leupung, Aceh Besar.
Peringatan 13 tahun gempa dan tsunami di Aceh tahun ini mengusung tema “Melawan Lupa, Bangun Kesadaran Masyarakat menuju Budaya Siaga Bencana” dan dipusatkan di halaman Masjid Al Ikhlas, Gampong Meunasah Masjid, Kecamatan Leupung, Aceh Besar.
(Baca juga : Peringati 13 Tahun Tsunami Aceh, Museum Tsunami Buka Malam Hari )
Kecamatan Leupung, sambung Reza, menjadi lokasi utama penyelenggaraan peringatan tsunami. Hal ini didasarkan kepada kejadian masa lalu.
Suasana haru mewarnai kegiatan zikir dan doa tersebut. Kegiatan ini juga diikuti rombongan wisatawan mancanegara, seperti Malaysia, Jepang, dan Korea Selatan.
"Kecamatan Leupung juga mengalami dampak serius akibat gempa dan gelombang tsunami yang mengakibatkan kehancuran harta benda dan korban ribuan nyawa masyarakat setempat,” ungkap Reza, Selasa (26/12/2017).
(Baca juga : Kepada Hakim, Siti Fadilah Cerita Pengalaman Bertugas Saat Tsunami Aceh )
Kepala Bidang Pemasaran Disbudpar Aceh, Rahmadhani menjelaskan, ada 4 tujuan utama yang ingin dicapai dari setiap penyelenggaraan peringatan gempa dan tsunami Aceh pada setiap tahunnya, yaitu refleksi, apresiasi, mitigasi, dan promosi.
“Kejadian gempa dan tsunami masa lalu sudah selayaknya menyadarkan kita betapa kecil dan tidak berdayanya manusia di hadapan Allah SWT. Setiap kejadian bencana tersebut harus menjadi ibrah sebagai introspeksi diri dan inilah bagian dari refleksi," sebutnya.
Adapun apresiasi, sambung Rahmadhani, akan selalu menjadi momentum penting untuk mengenang dan berterima kasih kepada seluruh masyarakat nasional dan internasional atas segala dukungan dan solidaritas sosial dalam membantu pembangunan Aceh.
"Aceh berada di daerah rawan bencana ring of fire, khususnya gempa dan tsunami. Masyarakat Aceh harus bersahabat dengan bencana (living harmony with disaster) dan selalui membangun budaya siaga bencana dalam upaya mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi di masa datang," jelasnya.
Sementara dari sisi promosi, wisata tsunami “Memory Tourism” bisa menjadi media efektif untuk memperlihatkan kekuatan, ketahanan, dan ketabahan masyarakat selama tsunami.
Memory Tourism juga media berbagi pengalaman bencana dengan wisatawan dan perbaikan ekonomi masyarakat melalui pariwisata “Blessing in Disguise”.
"Dengan peringatan ini kita berharap, seluruh masyarakat dan Pemerintah Aceh selalu mengenang dan tidak pernah melupakan kejadian tsunami yang telah merenggut ratusan ribu korban jiwa dan kehancuran harta benda, serta semangat untuk selalu membangun kesadaran masyarakat menuju budaya siaga bencana," ujar Rahmadhani.
(Baca juga : Tsunami Aceh Menginspirasi Insinyur AS Ciptakan Kapsul Pelindung )