Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ridha Aditya Nugraha
Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Manajer Riset dan Kebijakan Air Power Centre of Indonesia, Jakarta. Anggota German Aviation Research Society, Berlin. Saat ini berkarya dengan mengembangkan hukum udara dan angkasa di Air and Space Law Studies - International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya. Tenaga ahli sekaligus pemateri di Institute of Air and Space Law Aerohelp, Saint Petersburg. Sebelumnya sempat berkarya pada suatu maskapai penerbangan Uni Eropa yang berbasis di Schiphol, Amsterdam.

Gunung Agung Meletus dan Nasib Penumpang Telantar

Kompas.com - 28/11/2017, 09:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

GUNUNG Agung kembali meletus. Bukan salah siapa-siapa, memang gejolak alam, siapa yang dapat menandingi kuasa Tuhan?

Dalam konteks keselamatan penerbangan, debu vulkanik berpotensi mengganggu kinerja mesin pesawat.

Mengingat tujuan Konvensi Chicago 1944 beserta peraturan turunannya, baik nasional maupun internasional, ialah menjamin keselamatan penerbangan agar selalu berada pada tingkat tertinggi, maka tidak heran jika otoritas penerbangan sipil Indonesia menutup ruang udara terkait.

Imbas penutupan ruang udara ialah pembatalan atau pengalihan penerbangan berjadwal (scheduled flight) yang ujungnya berpotensi menelantarkan penumpang.

Dalam bisnis penerbangan, layaknya konsumen pada umumnya, posisi penumpang selalu lemah. Untunglah Indonesia telah memiliki instrumen hukum setingkat peraturan menteri guna melindungi penumpang ketika terjadi keterlambatan penerbangan.

Untuk penerbangan domestik, hukum positif Indonesia mengenal right to care dan right to compensation secara bersamaan.

Right to care diterjemahkan sebagai jaminan bagi para penumpang untuk mendapatkan perlindungan dasar (basic protection) hingga sampai ke tempat tujuan. Wujudnya antara lain konsumsi yang layak, akses telekomunikasi, informasi mengenai keadaan terkini, hingga penginapan jika dibutuhkan.

Adapun kewajiban maskapai untuk "membayar" Rp 300.000 kepada penumpang jika terlambat lebih dari 240 menit ialah perwujudan right to compensation. Ini dilakukan dengan catatan kesalahan berada di pihak maskapai penerbangan dan bukan keadaan memaksa (force majeure).

Perlu digarisbawahi bahwa peraturan ini dibuat ketika tingkat keterlambatan maskapai penerbangan sampai begitu parah.

Peraturan ini merupakan suatu lecutan agar manajemen maskapai penerbangan membenahi operasionalnya. Niatnya baik, tetapi salah kaprah.

Kata "force majeure" atau "keadaan memaksa", berdasarkan hukum yang berlaku, dengan mudah akan menihilkan kewajiban maskapai penerbangan atas right to care dan right to compensation.

Berbicara mengenai yang terakhir, apakah artinya Rp 300.000 seandainya seorang penumpang telantar sekitar seminggu. Untuk biaya penginapan sehari saja belum tentu cukup, bagaimana enam hari sisanya?

Maka, lupakan right to compensation. Seyogianya peraturan yang berlaku diubah agar lebih mengedepankan right to care. Keberadaan hukum dapat diibaratkan sebagai jaring pengaman atau nilai minimum, maka tidak ada salahnya jika memberikan lebih. Sejauh mana hukum nasional melindungi penumpang mencerminkan tingkat peradaban suatu bangsa.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com