SEMARANG, KOMPAS.com – Perum Perhutani Unit Regional Jawa Tengah membantah telah melakukan “kriminalisasi” terhadap petani yang menggarap lahan di Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Menurut Perhutani, hukuman selama 8 tahun yang dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap tiga petani penggarap lahan itu murni karena mereka terbukti melakukan penghasutan untuk menyerobot lahan milik Perhutani. Tiga penggarap itu yaitu Nur Azis, Sutrisno, dan Mujiono. Nur Azis adalah tokoh agama setempat.
“Sejak 2001, kami itu punya program bersama masyarakat, jadi tidak benar kami mengusir, menolak masyarakat. Jadi, silakan saja (menanam), jangan khawatir jenis apa yang mau ditanam,” kata Kepala Departemen Perencanaan SDH, Pengembangan Bisnis dan Pemasaran Perhutani Regional Jawa Tengah Mohamad Widianto, Jumat (24/11/2017).
Mohamad Widianto mengatakan, sejumlah warga, termasuk tiga petani yang dihukum itu sebelumnya menggarap lahan milik PT Sumurpitu, di Desa Surokonto Wetan. Penggarapan lahan itu, sambung dia, telah seizin pabrik pemegang hak guna usaha itu.
Baca juga : Sang Kiai Masuk Bui karena Bela Petani, Santri Nusantara Galang Koin Peduli
Namun pada 2012, lahan hak guna usaha seluas 127,821 hektare milik perusahaan itu dibeli PT Semen Indonesia untuk dijadikan lahan pengganti dari kawasan hutan di RPH Timbrangan BKPH Kebon KPH Mantingan seluas 56,850 Ha di Kabupaten Rembang yang dipinjam untuk pendirian pabrik semen.
Lahan pengganti di Surokonto Wetan itu kemudian diserahterimakan ke Perhutani untuk dikelola. Dalam proses pindah kepemilikan ini, masalah kemudian muncul ketika petani menolak kehadiran dari pihak Perhutani.
Perhutani sendiri hendak masuk ke kawasan hutan, karena dalam prosesnya lahan pengganti itu telah diproses menjadi kawasan hutan produksi pada hutan Kalibodri sebagaimana keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.3021/Menhut/JUH/2014. Proses mengubah kawasan hutan dilakukan sejak 2012.
“Ketika kami diberi tugas pengelolaan kawasan hutan, otomatis melakukan kegiatan bersama. Tapi faktanya terjadi penolakan kawasan itu. Ada sebagian masyarakat misalnya Nur Azis, Mujiono selalu memprovokasi dan menolak kawasan itu dikelola Perhutani,” kata dia.
Padahal, kata dia, Perhutani tetap mempersilahkan petani menggarap lahan yang sebelumnya digarap. Hanya saja, petani diminta untuk ikut menghijaukan kawasan itu agar ada pepohonanya.
“Saya persilahkan apa saja, pohon, daun pendek, akasia atau sengon boleh, randu, karet boleh. Asal sesuai keinginan masyarakat dan itu produktif,” kata dia.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan