Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lahan Akan Dibangun Kantor Desa, Sebuah SLB Terancam Digusur

Kompas.com - 22/11/2017, 09:47 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Salsabila (6) terlihat sibuk menulis di buku miliknya ditemani ibu gurunya di dalam kelas. Sesekali ibu guru terlihat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat.

Salsabila adalah penyandang tunarungu sejak lahir. Tidak seperti kelas pada umumnya, di satu ruang tersebut ada empat kelompok belajar yang terpisah, dan satu kelompok belajar di ruang yang disekat.

Kegiatan belajar mengajar tersebut berlangsung di Sekolah Luar Biasa (SLB) PGRI di Desa Lemahbang Dewo, Kecamatan Rogojampi.

Sejak enam bulan terakhir, mereka menempati tiga ruang yang salah satunya adalah bekas gudang.

Sebelumnya, mereka menempati ruangan lain yang lebih layak namun mereka harus pindah karena ruangan tersebut akan segera digunakan untuk kantor Desa Lemahbangdewo yang baru.

Namun pada tanggal 20 November 2017 lalu, mereka kembali diminta untuk mengosongkan ruangan yang saat ini digunakan dengan alasan yang sama, yaitu untuk pembangunan kantor desa. Padahal, SLB PGRI tersebut sudah menempati bangunan tersebut sejak tahun 2003 atas izin Dinas Pendidikan dan aparat desa setempat. Total ada tujuh kelas di lahan tersebut.

"Pada tanggal 20 November 2017 sudah ada beberapa orang yang mengaku suruhan dari pihak desa untuk mengosongkan sekolah, tapi batal. Awalnya kita di ruangan sebelah sana yang bangunannya bagus terus disuruh pindah dan kita pindah ke sini ke bekas gudang. Kita akan bertahan sampai ada solusi akan dipindahkan ke mana. Kasihan anak-anak. Mereka butuh belajar," jelas Kepala SLB PGRI Rogojampi, Suhadi kepada Kompas.com, Selasa (21/11/2017).

Baca juga : 4 Tahun Lalu Lulus Ujian, Siswa SLB Belum Juga Dapat Ijazah

Suhadi mengakui bangunan milik SLB PGRI tersebut berdiri di tanah kas desa. Sebelumnya, lahan tersebut adalah bekas SD Inpres Lemahbangdewo 3.

Saat itu, SLB PGRI yang baru dirintis sejak tahun 1993 masih menumpang di gedung Pramuka SD Gitik Rogojampi dengan jumlah siswa hanya empat orang. Ketika jumlah murid semakin bertambah, mereka diizinkan pindah ke lahan bekas SD Inpres 3 yang sudah tidak lagi digunakan.

"Dulu bangunannya sudah bobrok. Rusak. Atapnya sudah jebol. Akhirnya kami bangun lagi dengan bantuan anggaran provinsi. Ada dua, yang pertama Rp 73 juta yang kedua Rp 50 juta. Itu untuk membangun empat ruangan. Setelah semuanya terbangun dengan bagus, tiba-tiba disuruh pindah saja oleh pihak desa," kata Suhadi.

Suhadi mengaku bukannya tidak mau pindah, tetapi dia bingung akan memindahkan kegiatan belajar mengajar ke mana karena pihak desa tidak memberikan tempat alternatif untuk mereka serta tidak memberikan solusi.

Apalagi, para siswa adalah anak kebutuhan khusus yang penanganannya tidak sama dengan anak-anak pada umumnya. Mereka tinggal di wilayah sekitar Kecamatan Rogojampi.

Saat ini, ada 49 siswa yang bersekolah di SLB tersebut, mulai dari SD hingga SMP. Penyandang tunagrahita sebanyak 37 anak, tunarungu 6 anak dan autis satu anak serta ada siswa SMA yang ikut sekolah terpadu. Ada delapan guru dan hanya satu yang PNS, yaitu kepala sekolah.

"Beberapa kali kita diajak bicara baik dengan pihak kecamatan tapi tetap tidak ada solusi. Kami hanya diminta untuk segera mengosongkan ruangan. Jika tidak, maka akan dikosongkan paksa. Ini ada di beberapa surat yang dikirim ke kami. Para siswa terancam tidak bisa sekolah," tambah Suhadi.

Sementara itu salah satu wali murid, Sugiarti (35) kepada Kompas.com mengaku waswas saat mendengar sekolah anaknya akan dipindahkan. Dito, anak pertamanya adalah penyandang autis dan baru enam bulan bersekolah. Dito adalah anak yatim, ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu.

"Di sini rata-rata dari keluarga yang tidak mampu. Banyak yang juga yang yatim atau piatu seperti anak saya. Kalau lahanya ditutup, anak saya sekolah di mana. Kalau harus pindah ya jangan jauh-jauh karena terkendala transportasi juga," jelas ibu tiga anak tersebut.

Baca juga : Djarot: Saya Perintahkan Bangun SLB di Setiap Kecamatan

Selain itu, menurut Sugiarti, anaknya betah belajar di SLB PGRI, dan jika harus pindah masih harus menyesuaikan kembali dengan lingkungan. Hal tersebut sulit dilakukan karena Dito anak autis. Apalagi untuk biaya bulanan, pihak sekolah tidak mematok harga yang tinggi.

"Sekolah di sini tidak diharuskan harus berapa bayarnya. Seikhlasnya, jadi untuk saya, khususnya, sangat meringankan dan membantu. Tidak lebih dari Rp 70.000 per bulan. Malah ada yang bayar Rp 30.000. Tidak semua sekolah menerima anak berkebutuhan khusus seperti anak saya," jelas perempuan berkerudung tersebut.

Taman desa

Saat ditemui Kompas.com, Selasa (21/11/2017), Kepala Desa Lemahbangdewo, Agus Iswanto Prihadi membenarkan lahan yang saat ini digunakan SLB PGRI akan segera dibangunkan kantor desa baru. Dia beralasan lahan kantor desa yang lama sempit sehingga tidak bisa dibangun taman dan pendopo

"Sesuai dengan arahan bupati Banyuwangi terkait smart kampung, kami ingin meningkatkan pelayanan di desa, jadi ya dibangun pendopo dengan taman-taman kan cantik. Soalnya kantor kami lahannya sempit dan kami punya tanah kas desa, kenapa nggak dimanfaatkan saja untuk bangunan baru," jelasnya.

Dia menekankan bahwa penggunaan tanah kas desa yang saat ini dipakai untuk kegiatan belajar mengajar siswa SLB PGRI bukan keinginannya pribadi, tetapi sesuai permintaan dari masyarakat.

Agus Iswanto juga menjelaskan bahwa kedatangan beberapa warga pada tanggal 20 November 2017 lalu, bukan untuk mengosongkan sekolah tersebut, namun untuk membantu jika pihak sekolah kesulitan mengangkat barang-barang saat pindahan.

Dia juga mengakui tidak bisa memberikan solusi akan dipindahkan ke mana sekolah tersebut. Dia hanya meminta agar pengelola segera mengosongkan sekolah karena akan segera dibangun kantor desa baru.

"Ini kan untuk pelayanan desa juga. Jadi ya harus segera pindah. Di bagian halaman depan lagi proses pembangunan pendopo. Saya juga mikirkan para siswa akan dipindahkan ke mana, tapi saya bingung juga karena lahan itu satu-satunya lahan kas desa," jelasnya.

Kompas TV Walau memiliki kekurangan dalam penglihatan, sejumlah anak tunanetra di Solo, Jawa Tengah, terampil memainkan gamelan Jawa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com