Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buni Yani Ajukan Banding atas Vonis 1,5 Tahun Penjara

Kompas.com - 20/11/2017, 14:56 WIB
Agie Permadi

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com - Buni Yani mengajukan banding atas vonis 1,5 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim. Berdasarkan pantauan di lapangan, ‎Buni Yani tiba di Pengadilan Negeri (PN) Klas I Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Senin (20/11/2017) sekitar pukul 11.15 WIB, dengan didampingi kuasa hukumnya, Syawaludin.

Buni yang mengenakan kemeja abu bergaris itu langsung masuk ke gedung PN Bandung menuju ke ruang pidana PN Bandung.

‎‎"Kami banding, InsyaAllah," kata Buni Yani di sela-sela pendaftaran.

Menurut dia, tuduhan yang dijatuhkan kepadanya saat itu tak berdasar dan tidak melalui riset yang mumpuni. Akibatnya, hal tersebut menjadikannya terdakwa dan dinyatakan bersalah oleh majelis hakim.

(Baca juga: Divonis 1,5 Tahun Penjara, Buni Yani Tak Langsung Ditahan)

Buni berharap mendapat keadilan dan kemenangan persidangan ini. ‎

"Jelas menanglah. Mudah-mudahan ada keadilan di negara kita yang luar biasa bobroknya penegakan hukum ini. Seorang dosen berdiskusi di Facebook tetapi kemudian lalu menjadi dianggap punya unsur pidana, kan gila," tuturnya.

Sementara itu, kuasa hukum Buni, Syawaludin, ‎menjelaskan, ‎kedatangan bersama kliennya ke PN Bandung untuk melakukan legalisir surat kuasa untuk banding yang nantinya akan berlanjut ke akta pengajuan banding.

"Salinan putusan kami dari putusan hakim kemarin yang menjadi dasar kami membuat memori bandingnya," ungkapnya.

Dia menjelaskan, alasan pengajuan banding itu ‎didasari pendapat yang berbeda terkait keputusan yang telah ditetapkan Majelis Hakim M Saptono. Menurut dia, Buni Yani sama sekali tidak bersalah.

"Klien kami itu sama sekali tak bersalah, dan persidangan pun terbukti tak ada buktinya tapi ternyata keputusannya berbeda dengan kami," tuturnya.

Dia mencontohkan, pada dakwaan pemotongan video di Pasal 32 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada kliennya itu tidak terbukti bersalah. Pasalnya beberapa ahli menyatakan bahwa Buni Yani tak melakukan pemotongan video Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu.

"‎Tak ada saksi, bukti suratnya juga atau dokumen dan juga ahli yang menyatakan terkait Pak Buni itu dikaitkan dengan pasal tersebut," tuturnya.

(Baca juga : Di Tengah Hujan, Buni Yani Curhat soal Putusan Hakim dan Niat Naik Banding)

Pihaknya juga mempertanyakan putusan ‎majelis yang menyebut unduhan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu harus seizin Pemprov DKI. Padahal, katanya, video itu diunggah Pemprov DKI ke YouTube dan disiarkan secara umum.

"Tiba-tiba ada konsep harus izin dari Pemprov DKI, padahal kan itu videonya pun di-publish di publik, yang artinya terbuka untuk umum. Siapa saja boleh melihat dan men-download," tuturnya.

Kemudian, lanjut Syawaludin, konsep menambah dan mengurangi yang dilakukan Buni Yani terhadap video tersebut pun dinilainya tak terbukti.

"Tak ada yang lihat Buni‎ melakukan pemotongan, ataupun memberikan tambahan informasi yang mengaburkan fakta. Itu tak ada," tuturnya.

Sebelumnya diberitakan, Majelis Hakim menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepada Buni Yani dalam kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Gedung Dinas Perpustakaan dan Arsip, Jalan Seram, Kota Bandung, Selasa (14/11/2017) siang

Majelis Hakim yang diketuai M Saptono itu menilai Buni Yani secara sah dan meyakinkan bersalah atas perbuatannya.

 

Kompas TV Jaksa Agung M Prasetyo akan mengevaluasi putusan vonis hukuman 18 bulan penjara terhadap Buni Yani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com