BrandzView
Konten ini merupakan kerjasama Kompas.com dengan PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP)

Raja Arman, Kisah Gajah "Terbang" dari Hutan Riau

Kompas.com - 09/11/2017, 16:36 WIB
Dimas Wahyu

Penulis

PELALAWAN, KOMPAS.com - Raja Arman, gajah kecil itu, kegirangan saat bermain dan mandi-mandi di sungai. Setelahnya, ia kadang menggaruk-garukkan punggungnya ke batang pohon atau benda keras lainnya, atau malah bermain-main tanah. Sepintas, perilakunya mirip anak-anak kecil.
 
Setelahnya, Raja Arman akan makan. Bisa sobekan-sobekan batang pohon pisang, rotan, terap, atau tumbuhan bergetah lain yang menjadi favoritnya untuk dilahap.
 
Hampir tiap waktu ia mengunyah tumbuh-tumbuhan seperti itu di tempat tinggalnya. Tempat tinggal atau lebih tepat disebut kandang Arman berupa sebuah fondasi baja terbuka dengan atap. Rutinitas itu dimulai sejak pagi ketika Raja Arman akan mengawali harinya dengan bertemu orang yang merawatnya.
 
"Kalau pagi, saya cuma lewat, tidak langsung nyamper, dia (Raja Arman) akan teriak-teriak, coba memanggil. Di tahu, kalau pagi pasti ada saya," ujar Arief, petugas yang merawat Raja Arman, Kamis (14/9/2017).
 
Raja Arman pun suka puding. Namun, isi dan ukurannya berbeda dengan puding yang dikenal manusia.
 
Puding untuknya lebih mirip dodol. Isinya terdiri dari adonan masak gula merah, dedak, ubi kayu, serta satu hingga dua blok mineral sebesar bata yang umumnya juga disediakan sebagai suplemen ternak.
 
Semuanya dikumpulkan, penuh dalam satu gerobak dorong beroda satu. Lalu, sekepal demi sekepal puding akan masuk ke mulut Raja Arman lewat tangan sang perawat.
 
Gajah "terbang"
 
Raja Arman, yang nama belakangnya diperoleh dari singkatan nama dua petugas yang biasa merawatnya, Arief dan Rahman, lahir dari sepasang gajah bernama Adei (lahir 1986) dan Mira (1987).
 
Dua orangtuanya itu, bersama dua gajah lain, Ika (1986) dan Meri (1986), awalnya didatangkan dari Balai Konservasi Gajah Sebanga.
 
Pada 2006, keempat gajah itu kemudian dipelihara oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
 
RAPP membangun kamp gajah ini setelah bersepakat dengan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Riau, Dewan Taman Nasional Teso Nilo, WWF, dan perusahaan lain di wilayah sekitar, yang selanjutnya menjadi tempat lahirnya si betina Carmen (2009) dan barulah Raja Arman (2011).

Puding gajah di kamp RAPP, Pelalawan, Riau, terdiri dari adonan masak gula merah, dedak, ubi kayu, serta satu hingga dua blok mineral sebesar bata.Dimas Wahyu Puding gajah di kamp RAPP, Pelalawan, Riau, terdiri dari adonan masak gula merah, dedak, ubi kayu, serta satu hingga dua blok mineral sebesar bata.

 
Kamp itu sendiri terletak di Ukui, Pelalawan, Provinsi Riau, sebuah area yang masih menjadi rumah bagi gajah-gajah liar.
 
"Memang Ukui ini menjadi sentral dari pergerakan gajah liar. Kalau yang terestimasi kasar, jumlahnya 300 ekor," ujar Didi Purwanto, Askep Forest Enfiro Safety RAPP.
 
Akibat penebangan liar, habitat mereka menjadi semakin kecil sehingga secara tidak langsung gajah-gajah sumatera itu berebut lahan dengan manusia. Efeknya, gajah dianggap kerap merusak tanaman dan fasilitas di permukiman warga.
 
Pada saat konflik terjadi inilah, Adei, Mira, Ika, Meri, Carmen, dan Raja Arman, enam gajah "terbang" atau Flying Elephant Squad, akan berperan.
 
Bekerja dalam tim, termasuk para perawat gajah atau mahot alias pawang, keenam gajah akan mengarahkan gajah-gajah liar yang masuk permukiman warga tersebut ke wilayah lain, sesuai penjelasan Didi Purwanto.
 
"Masyarakat akan sampaikan ke kami, ini ada gajah masuk. Kami kemudian akan investigasi, lalu bersepakat bersama masyarakat, gajah-gajah ini akan diarahkan ke mana. Oo oke, kita arahkan ke hutan lindung, yang salah satu fungsinya memang diperuntukkan bagi gajah," ujarnya.
 
Gajah "terbang" dalam Flying Elephant Squad, menurut Didi, menggunakan istilah "flying" seperti halnya istilah "flying doctor" ataupun "flying mechanic", yakni mereka yang dengan profesi pentingnya selalu siap didatangkan ke mana saja.
 
Belalai Arman sedang dibersihkan di Kamp RAPP Pelalawan, Kamis (14/9/2017). Pembersihan dilakukan untuk mengecek penyakit herpes pada gajah.Dimas Wahyu Belalai Arman sedang dibersihkan di Kamp RAPP Pelalawan, Kamis (14/9/2017). Pembersihan dilakukan untuk mengecek penyakit herpes pada gajah.
Kehadiran Flying Elephant Squad mengimbangi gajah liar secara ukuran, selain juga adanya pembekalan pelontar petasan bagi para mahot agar menghasilkan bunyi yang bisa menghalau gajah-gajah liar.
 
Hal semacam ini disiapkan mengingat kehadiran gajah liar terbilang cukup sering, bahkan saat malam hari, seperti dikatakan Sarmin (42), yang juga seorang mahot.
 
"Kadang malam masuknya. Kalau yang betina ketemu betina cuma ganggu sedikit, setelah itu berkawan. Kalau yang jantan, bisa berantem. Makanya, itu yang dihindari," ujar pria asal Solo, Jawa Tengah, ini yang sudah bergabung di RAPP sejak 2004.
 
Gajah jantan yang patut diperhatikan pun bukan yang berkelompok, melainkan yang tunggal. Pasalnya, gajah jantan berani sendirian karena dia merasa kuat.
 
Situasinya akan berbeda jika gajah-gajah ini berkelompok. Tim cukup mengarahkan pemimpinnya, sementara yang lain akan ikut.
 
Disayang
 
Sekian kilometer dari kamp gajah adalah jalur tanah kering berbukit yang pasti membuat mobil-mobil bergoyang-goyang dahsyat ketika melaluinya.
 
Jalur yang dilalui itu sendiri merupakan lintasan gajah, termasuk gajah-gajah liar.
 
Soal pertemuan dengan gajah liar saat patroli, hal ini kerap membuat para mahot waspada karena yang diincar pertama oleh mamalia itu justru pawang yang duduk di atasnya.
 
Saat patroli, Adei si gajah jantan, akan berada di depan. Patroli dengan gajah sendiri akan diadakan dua kali dalam seminggu, sementara waktu sisanya dilakukan menggunakan sepeda motor.
 
"Dalam sehari, jelajahnya 1 km. Sore sudah kembali," ujar mahot lainnya, Hendro Rambey.
 
Gajah-gajah ini pun akan makan tumbuhan bergetah selama kegiatan tersebut agar mereka tetap terbiasa hidup dengan habitatnya.
 
Karena banyak aktivitas itu pula, mereka makan puding tadi sebagai suplemen, disertai cek kesehatan setahun sekali oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
 
Para mahot pun rutin mengarahkan gajah membersihkan hidungnya untuk melihat apakah dari semburannya terdapat kulit yang terkelupas pertanda herpes. Lalu pengecekan lainnya dilakukan terhadap penyakit cacingan.
 
Obat cacing untuk gajah sebesar jari di kamp gajah RAPP, Pelalawan, Riau, Kamis (14/9/2017).Dimas Wahyu Obat cacing untuk gajah sebesar jari di kamp gajah RAPP, Pelalawan, Riau, Kamis (14/9/2017).
"Sejauh ini penyakit yang paling ditakutkan cacingan karena dia kan ada kegiatan yang bersentuhan dengan tanah ya. Kalau sudah cacingan, efeknya turun berat badan, jadi tidak aktif," ujar Didi.
 
Didi menjelaskan hal tersebut ketika Sarmin dan mahot-mahot lainnya sedang mengarahkan Raja Arman untuk membersihkan hidung belalainya.
 
"Merono-merono ('ke sana' dalam bahasa Jawa). Saya ya suka pakai bahasa Jawa, ya mereka mengerti," ujar Sarmin, yang sebagai mahot dijamin memperoleh gaji, fasilitas rumah dan transportasi, serta status karyawan dengan fasilitas bagi istri dan anak hingga tiga orang.

 

Sarmin juga berujar, kadang ketika pikirannya seperti sudah terkoneksi dengan gajah yang ia tunggangi, sang gajah akan berbelok sesuai arah yang ia pikirkan.
 
"Sudah seperti anak sendirilah. Kalau kita sayang sama dia, ya dia sayang sama kita. Ya alhamdulillah, kalau gajah dulu disebut perusak, ya adanya kami ini mengurangilah," ujarnya.


Baca tentang

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com