Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghalau Talasemia dari Aceh, antara Takhayul dan Medis (1)

Kompas.com - 23/10/2017, 18:42 WIB
Daspriani Y Zamzami

Penulis

Tapi penyakit anak-anaknya tak juga pergi. Dua dari delapan anaknya, Yuliati dan Fauzanur, malah sakit makin parah sehingga harus masuk rumah sakit. Ketika itulah, Rumah Sakit Umum dr Fauziah, Bireuen, merujuk keduanya ke Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh.

Sampai di RS Zainal Abidin, Yuliati dan Fauzanur didiagnosis menyandang talasemia. Dokter kemudian meminta agar semua anak Nuhayati dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa di laboratorium.

"Dan lima dari delapan anak kami positif menderita penyakit talasemia," ungkap Nurhayati.

Kini tiga dari lima anak Nuhayati yang positif talasemia terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Ada yang berhenti karena tidak tahan diejek akibat penyakitnya, ada pula akibat kondisi mereka yang semakin lemah sehingga hanya dapat berbaring di rumah.

Sebenarnya, penderita talasemia masih bisa hidup normal bila rutin mendapat transfusi. Tapi bagi banyak keluarga tidak gampang untuk disiplin memenuhi jadwalnya, terutama karena masalah biaya dan jarak ke rumahsakit yang cukup jauh.

Di RS Zainal Abidin, hingga Mei 2017 baru tercatat 315 thallers (pengidap talasemia) se-Aceh yang rutin melakukan transfusi darah di ruang Sentra Talasemia RS Zainal Abidin, padahal angka prevalensi talasemia di provinsi ini salah satu yang tertinggi di Indonesia.

Berat di ongkos

Soal beratnya ongkos transfusi terasa benar bagi Husna. Sebagai buruh tani, dia mendapat upah tidak seberapa. Ketika dia menjadi buruh tani pada musim panen cabai, misalnya, dia hanya dibayar Rp 3.000 untuk setiap kilogram cabai yang dipanen.

Dengan pendapatan yang tak seberapa ini, dia harus mengumpulkan ongkos transportasi dan kebutuhan makan dirinya dan kedua anaknya saat ke rumah sakit.

“Belum lagi kalau saya harus bolak-balik ke rumah sakit ketika dua anak saya jadwal transfusinya berbeda. Lumayan berat untuk kami yang kondisi ekonominya melemah seperti ini,” ujar Husna.

Keadaan Nurhayati tidak lebih baik. Dia hanya mengandalkan pendapatan sang suami, Daud (50), yang bekerja sebagai pemanjat dan pemetik buah kelapa. Sedikitnya mereka harus mengeluarkan biaya perjalanan Rp 1,5 juta untuk membawa lima anak mereka melakukan transfusi di RS Zainal Abidin Banda Aceh.

Lembaga Pendamping Penyandang Talasemia di Aceh, Yayasan Darah Untuk Aceh (YDUA) mengatakan, salah satu kendala utama bagi para pasien penyandang talasemia di Aceh untuk bisa rutin melakukan transfusi darah ke RS Zainal Abidin adalah karena 90 persen di antaranya berasal dari keluarga prasejahtera. Bagi mereka ongkos jelas halangan besar.

“Pasalnya saat ini belum ada rumah sakit regional yang jaraknya lebih dekat dengan tempat tinggal pasien yang bisa melayani para pasien talasemia, karena belum ada dokter spesialis yang ditempatkan di rumah sakit di daerah,” ujar Nurjannah Husien, pendiri YDUA.

Untuk membantu meringankan beban keluarga pasien, Nurjannah mengatakan YDUA memiliki program donasi bertagar #S3kumlod. Ini merupakan kependekan dari “Seribu Seorang Sebulan Kumpulan Loyal Donasi”.

Program ini adalah program donasi bagi penyandang talasemia. Para donatur menyumbangkan uangnya secara kontinyu Rp 1.000 per bulan.

“Kenapa Rp 1.000? Ini untuk memudahkan bagi siapa saja yang ingin berdonasi, termasuk anak-anak. Dengan program ini, kami juga menyosialisasikan kepada anak-anak dan remaja bahwa bersedekah adalah sebuah bentuk kepedulian kepada sesama dan bahwa setiap orang bisa menjadi penyandang talasemia. Untuk itu, mereka harus siap dengan kondisi tubuhnya dan mulai memeriksakan diri mereka sejak dini,” kata perempuan yang akrab disapa Nunu.

Selain terkendala masalah biaya, pengentasan talasemia di Aceh masih terhadang takhayul.

“Tidak sedikit ada anak yang meninggal dunia karena tidak melakukan pengobatan ke rumah sakit, hanya karena orangtua mereka masih percaya takhayul dan anak yang meninggal adalah sebagai tumbal bagi keluarga,” ungkap Nunu.

BERSAMBUNG

 

Tulisan berseri ini adalah hasil liputan Daspriani Y Zamzami, kontributor Kompas.com di Banda Aceh, sebagai peserta program Fellowship Journalism Science yang diadakan oleh AJI Indonesia.

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com