Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wantannas: Sumber Radioaktif Indonesia Diintai Negara Asing

Kompas.com - 16/10/2017, 20:18 WIB
Heru Dahnur

Penulis

Kompas TV Bongkar Rumah, Warga Temukan 2 TabungPeninggalan Belanda

PANGKAL PINANG, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pakar Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Andi Amir, mengatakan, mineral ikutan timah yang menjadi sumber bahan radioaktif di Kepulauan Bangka Belitung membutuhkan pengawasan ekstra agar tidak dicaplok negara lain.

Sebagai salah satu sumber energi masa depan, sedikit negara yang memiliki cadangan mineral ikutan.

“Indonesia memiliki Kepulauan Bangka Belitung yang potensi mineralnya lebih banyak di lautan daripada di darat. Ini harus dijaga dan presiden sangat perhatian dengan sumber energi ini,” kata Andi saat rapat koordinasi di kantor gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Senin (16/10/2017).

Andi mengungkapkan, selain di Indonesia, mineral ikutan timah sudah digarap negara China dan Australia. Potensi yang ada di Indonesia sendiri, kata Andi, selalu dipantau negara lain karena kandungannya yang besar.

“Mereka bahkan menggunakan satelit yang bisa melihat (Indonesia). Sampai kedalaman lumpur pun bisa mereka tahu,” beber Andi.

Kepala Dinas Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) Kepulauan Bangka Belitung, Suranto Wibowo menyebutkan, potensi logam tanah jarang mencapai 7 juta ton. Angka ini baru hitungan dari kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik BUMN PT Timah (Persero) Tbk seluas 400.000 hektar lebih.

“Jika dihitung wilayah swasta, potensinya akan lebih besar lagi,” ujarnya.

Bahan baku yang sudah dimiliki berupa monazite yang produk turunannya antara lain logam tanah jarang, thorium dan uranium. Mineral radioaktif ini digunakan dalam pembuatan supermagnet, batrei, persenjataan dan lainnya. Bahkan mobil listrik sebagai kendaraan masa depan akan tergantung dengan mineral ikutan tersebut.

Baca juga: Polisi Hentikan Operasi Tambang Timah Apung Ilegal di Pangkal Pinang

Menurut Suranto, bukan perkara mudah untuk mengelola cadangan energi yang masih tersimpan. Biaya besar harus dikeluarkan.

“Pernah ada yang menghitung untuk pilot project saja habis 1,7 juta dolar,” terangnya.

Permasalahan lainnya, daerah belum memiliki aturan zonasi yang jelas sehingga izin lingkungan tidak bisa dikeluarkan. Sementara upaya diskresi hanya bisa dilakukan melalui ketua Watannas yang sekaligus Presiden, Joko Widodo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com