Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Wiyono, Perajin Bambu Difabel yang Diremehkan tetapi Gigih Berinovasi

Kompas.com - 18/09/2017, 16:24 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Suasana berbeda tampak di Bentara Budaya Yogyakarta. Hiruk pikuk mewarnai kawasan Bentara Budaya Yogyakarta karena Pasar Yakopan mulai digelar sejak 15 September 2017. 

Seperti tahun sebelumnya, acara Pasar Yakopan yang ke-10 ini juga menghadirkan pemeran di dalam gedung Bentara Budaya Yogyakarta. Memasuki pintu masuk Bentara Budaya, di sisi kiri, terpajang berbagai kerajinan dari bambu, mulai dari mainan anak-anak sampai dengan alat musik dari bambu.

Seorang pria mengenakan topi dan jaket terlihat duduk bersandar di tiang dekat situ. Pria ini dengan sabar menunggu para pengunjung Pasar Yakopan yang tertarik membeli kerajinan bambu buatannya.

Kakinya terjulur kedepan. Tepat di samping kakinya terdapat dua kruk untuk membantunya berjalan.

Pria bernama Wiyono, warga asli Jetis Rt 01/Rw 13 Krajan Weru, Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah, ini sengaja datang jauh-jauh dari Solo ke ke Bentara Budaya Yogyakarta untuk mengikuti pameran di acara Pasar Yakopan.

Wiyono mengungkapkan, seluruh kerajinan bambu yang dibawanya ke pameran Pasar Yakopan merupakan hasil karyanya dan beberapa teman difabel.

Dia bercerita, awalnya dia bekerja di sebuah pertambangan di Kalimantan Selatan. Namun naas, bapak empat orang anak ini mengalami kecelakaan kerja.

"Tahun 2008, saya mengalami kecelakaan kerja. Kaki kanan saya dioperasi tetapi gagal dan cacat permanen," ujar Wiyono saat ditemui Kompas.com di acara pameran Pasar Yakopan di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (17/9/2017).

(Baca juga: Seorang Difabel Dapat Pekerjaan setelah Tulis Pengumuman di Facebook)

Kenyataan pahit tersebut diakui oleh Wiyono sempat memukul psikologisnya. Sebab, setelah dinyatakan cacat permanen, dia tidak bisa lagi kembali ke pekerjaannya di Kalimantan Selatan. Sementara saat itu, dirinya sudah memiliki tiga anak.

"Karena cacat, lalu dirumahkan oleh perusahaan dan sangat memukul psikis saya, sampai benar-benar drop. Anak waktu itu sudah tiga, saya bingung dengan kondisi seperti ini bagaimana mau mencari uang untuk menghidupi keluarga," tuturnya.

Di tengah keputusasaan itu, ada seorang teman difabel yang datang ke rumahnya di Jetis Rt 01/Rw 13 Krajan Weru, Sukoharjo, Solo. Teman difabel dari Sehati Sukoharjo tersebut mengajak bergabung, berorganisasi dengan teman-teman difabel sekaligus berlatih keterampilan.

"Saat saya drop itu, ada teman difabel dari Sehati Sukoharjo mengajak bergabung. Di sana, saya memilih berlatih membuat kerajinan bambu. Saya juga mendapat pendampingan dari Karinakas Yogyakarta, diberi motivasi sehingga bisa muncul semangat kembali," ucapnya.

Dia mengaku, awalnya sulit untuk belajar membuat kerajinan berbahan bambu. Satu jenis produk dari bambu saat itu diselesaikannya dalam waktu satu bulan.

"Lama, satu macam saja misal otok-otok itu saja sampai satu bulan baru selesai. Kalau sekarang sudah biasa ya cepat, sehari bisa beberapa biji," ungkapnya.

Dari situlah, Wiyono akhirnya pada tahun 2010 mulai menekuni usaha kerajinan bambu. Setiap hari produk hasil karyanya, ia bawa berkeliling ke desa-desa dengan menggunakan sepeda motor roda tiga. Di awal memang hasilnya belum seberapa.

"Awal dulu saya keliling naik motor roda tiga ke pasar, keliling desa, lalu ke orang punya hajat," ucapnya.

Pada masa awal membuka usaha, Wiyono mengaku sempat diremehkan oleh orang lain. Namun justru dengan diremehkan itu, bapak empat anak ini terlecut untuk membuktikan.

Lewat hasil kerajinan bambu, Wiyono bisa menafkahi keluarga dan memperbaiki perekonomian keluarganya yang karut marut pasca-kecelakaan kerja.

"Awal saya disepelekan dan diremehkan orang. Ya karena masyarakat kami kan memang rata-rata butuh pembuktian, tetapi itu justru melecut saya untuk membuktikan," ungkapnya.

Seiring berjalannya waktu, Wiyono kini setidaknya telah sedikit banyak menikmati buah dari kerja keras dan ketekunannya. Produk kerajinan bambu buatanya banyak diminati dan sampai ke luar kota.

"Satu setengah tahun ini banyak job event pameran dan pesanan, kemarin saya dapat pesanan 3.000 biji untuk sovenir acara kongres se ASIA di JEC. Kalau pesenan sampai Batam, Papua, Makasar, Jakarta, kalau yang sering memang Yogya," tuturnya.

Menurut dia, meski pendapatan yang didapatnya tidak bisa dirata-rata per bulan, namun dari setiap mengikuti pameran dirinya dalam satu minggu bisa mendapatkan hasil Rp 3 juta sampai Rp 7 juta.

"Kemarin pameran di Semarang satu minggu dapat Rp 3 juta, kalau yang di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) belum lama ini dapat Rp 7 juta. Dulu uang sebesar itu, baru bisa saya dapatkan dengan berkeliling 5 sampai 7 bulan," tuturnya.

Dari banyaknya pesanan tersebut, Wiyono lantas mengajak beberapa temannya yang difabel untuk bekerja sama. Sebab, dirinya tidak bisa memenuhi sendiri permintaan, selain itu juga agar bisa membantu pendapatan dari teman-teman difabel lainya.

"Memang dari dulu cita-cita saya bisa merangkul teman-teman difabel lainnya. Agar sama-sama maju dan memiliki penghasilan yang baik, sekarang ada beberapa teman difabel yang menitip jual produknya ke saya," ujarnya.

Berkaca dari apa yang dialaminya, timbul niatan dari Wiyono untuk membantu difabel lainnya. Dia pun lantas mengumpulkan difabel di daerahnya dan membuat organisasi yang diberinama Self-Help Grub (SHG) Desa Krajan.

"SHG itu artinya menolong dirinya sendiri, saya kumpulkan pelan-pelan sekarang sudah jadi organisasi dan ada 40 anggota. Kita ada pelatihan dan sudah bikin koperasi," kata Wiyono.

Wiyono menyampaikan satu hal yang selama ini diyakininya, yakni sesulit apapun hidup ketika ada niat pasti akan ada jalan.

"Satu hal yang saya yakini, kalau ada niat pasti ada jalan. Itu yang saya pegang dan yakini sampai saat ini," ungkapnya.

Inovasi

Wiyono membuat produk baru dari bambu terinspirasi dari Pasar Yakopan. Wiyono tak pernah berhenti untuk berinovasi dalam membuat produk-produk baru dari kerajinan bambu.

"Saya dapat pelatihan tetapi saya kembangkan lagi. Saya tidak mau berhenti berinovasi, untuk menciptakan produk-produk baru," tuturnya.

Menurut dia, salah satu produk yang tahun ini dipamerkannya di acara Pasar Yakopan adalah kapal. Produk baru ini terinspirasi dari pameran Pasar Yakopan tahun kemarin. Saat itu, lanjut Wiyono, panitia membuat kapal layar berukuran besar di tengah-tengah ruangan Bentara Budaya Yogyakarta.

"Pasar Yakopan tahun kemarin kan saya ikut, nah ada kapal layar besar yang ditaruh di tengah. Saya foto lalu di rumah saya bikin dengan bahan bambu, ternyata banyak juga peminatnya," tegasnya.

Selain kapal, Wiyono juga membuat bunyi telolet dari bambu. Produk ini terinspirasi dari fenomena klakson telolet beberapa waktu lalu.

"Tahun kemarin kan telolet baru ngetren lalu saya bikin. Bambu saya lubangi tiga lalu dikasih terompet, di tiup lubangnya ditutup lalu dibuka bergantian, bunyinya telolet," tuturnya sambil tertawa.

Tak hanya itu, Wiyono juga mampu membuat alat musik angklung hingga musik harmonika dari bambu. Bapak empat orang anak ini sampai saat ini telah memiliki setidaknya 15 jenis produk dari kerajinan bambu.

"Ada etek-etek, otok-otok, harmonika, angklung, gangsing, banyak semua ada 15 jenis produk. Kalau harganya termurah mulai Rp 5.000 sampai Rp 500.000," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com