Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Sagu "Porno" Menjadi Mie, Makaroni, dan Beras Analog

Kompas.com - 12/09/2017, 11:34 WIB

Tim Redaksi

SANGIHE, KOMPAS.com - Para jurnalis yang tergabung dalam Media Trip ke Sangihe sedikit terkejut dan meminta penegasan ulang. Masalahnya ada kata "porno" yang melekat di salah satu nama kuliner khas daerah Sangihe: sagu porno.

"Iya dari dulu kami menyebutnya demikian," tegas Cut Nyak Din Kendaunusa, mantan Kepala Kampung Karatung Satu, Kecamatan Manganitu menjawab rasa penasaran para jurnalis pekan lalu.

Sagu porno yang dimaksud adalah olahan sag. Olahan tersebut dibakar menggunakan cetakan khusus yang terbuat dari tanah liat. Cetakan itu lazim disebut porno.

Dalam bahasa lokal olahan sagu itu disebut humbia pineda, tetapi lebih populer dengan sebutan sagu porno.

(Baca juga: Pemkot Ambon Berencana Ganti Raskin dengan Sagu)

Berbeda dengan pengolahan sagu di daerah lain, seperti di Maluku, sagu porno bukan dibakar langsung di atas api. Cetakan dari tanah liat yang terdiri beberapa kotak kecil berbentuk persegi panjang tersebut dibakar di atas bara api.

Setelah panasnya cukup, tepung sagu kasar dituangkan di dalam cetakan. Lalu cetakan ditutupi seng dan di atasnya diletakkan bara. Sagu akan masak dari hasil panas cetakan tanah liat tersebut.

Rasa yang dihasilkan memang gurih. Sangat cocok dimakan dengan menu kuah ikan segar atau ikan bakar.

Kepulauan Sangihe dikarunia sumber daya alam yang melimpah. Salah satunya, tumbuhan sagu yang tumbuh secara alami sejak dahulu kala. Banyaknya pohon sagu itu membuat masyarakat Sangihe menjadikan sagu sebagai pangan alternatif utama pengganti nasi.

Jenis sagu yang tumbuh di Sangihe adalah varietas sagu Baruq. Varietas ini berbeda dari sagu Metroxylon yang hanya dapat tumbuh di lahan gambut atau lahan basah.

(Baca juga: Bungkus Makanan Bebahan Sagu Mulai Dikembangkan di Papua)

Sementara sagu Baruq hidup di lahan kering, lereng, sampai tebing yang curam sesuai dengan topografi kepulauan Sangihe. Kelompok Tani KSM Lestari di Karatung Satu kini mengolah sagu lebih modern.

Pengolahan sagu modern ini didapat dari pendampingan beberapa lembaga terutama Perkumpulan Yapeka yang ditopang Perkumpulan Sampiri. 

 

Dengan peralatan yang cukup canggih, tepung sagu di Karatung Satu bisa dijadikan mie, makaroni, bahkan beras analog.

"Mie sagu kini mulai banyak penggemarnya. Kami sudah sering menerima pesanan dari berbagai kampung," ujar Ketua Kelompok Tani KSM Lestari, Markus Samodara, akhir pekan lalu.

Markus menemani para jurnalis melihat proses pengolahan sagu dari sejak penebangan pohon sagu, pemisahan serat, mengekstrak pati, hingga mengolah tepung sagu menjadi berbagai variasi olahan.

"Kecuali proses pembuatan tepung menjadi mie, makaroni, dan beras, semuanya masih dilakukan secara tradisional," ujar Markus.

Yahulin (54), salah satu anggota kelompok yang saat itu bertugas mencuci serat sagu di instalasi pencucian tradisional menceritakan, bahwa hampir setiap hari dia memproses serat sagu.

"Ini habis dicuci, airnya didiamkan agar sagunya mengendap. Setelah itu air dibuang, sagunya diambil dan siap diolah jadi apa saja. Kalau jadi tepung, dijemur dulu," jelas Yahulin.

Menurut dia, 25 kilogram sagu basah yang dikemas dalam karung plastik biasanya dijual seharga Rp 100.000. Kemasan sagu basah itu bisa tahan selama satu bulan.

Untuk Rumah Produksi KSM Lestari sendiri rata-rata dalam satu bulan memproduksi tiga hingga empat kali olahan sagu menjadi mie, makaroni, dan beras.

"Walau memang sudah banyak yang order, namun kami masih kesulitan dalam melakukan perluasan penjualan. Sebab ini baru bisa mencapai pasar lokal," kata Markus.

Ami Raini Putriraya dari Perkumpulan Yapeka berharap, program pendampingan bisa menghasilkan cara pengemasan produk yang lebih bagus.

"Pengemasannya memang belum digarap serius, kami akan mencoba mendampingi mereka untuk menaikkan nilai jual," ucapnya.

Sam Barahama dari Perkumpulan Sampiri berharap, pemerintah memberi perhatian serius terhadap olahan sagu. Sebab menurutnya, sagu menjadi salah satu penghasil bahan pangan utama bagi masyarakat Sangihe.

"Sudah barang tentu, kita harus menjaga mulai dari lingkungan tempat sagu tumbuh hingga proses pengolahannya. Agar pangan lokal ini tetap lestari," harap Sam.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com