Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Becak Buatan Bantul "Terbang" hingga Jerman dan Belanda

Kompas.com - 29/08/2017, 06:50 WIB
Markus Yuwono

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Papan besar berwarna kuning bertuliskan "Becak Sinar Laut" menjadi penanda keberadaan bengkel sederhana tempat pembuatan becak di deretan pertokoan di Jalan Bantul km 4,5, Panggungharjo, Sewon, Bantul.

Siang itu, Senin (28/8/2017), tak banyak aktivitas di bengkel karena memang tidak ada jadwal produksi.

Hanya ada satu becak kayuh baru, becak motor dan becak bekas yang akan direstorasi serta beberapa rangka becak di bengkel. Di lantai, peralatan bengkel seperti mesin bor dan kayu tergeletak.

Bengkel becak milik Agustine Chen, wanita berusia sekitar 50 tahun ini, menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya, Lim Chin Lung, meninggal dunia sekitar 5 tahun lalu.

Agustine menuturkan, produksi becak di bengkel keluarga ini dimulai setelah mertuanya, Lim dan Setyawati, hijrah ke Yogyakarta sekitar tahun 1970-an. Mereka membeli bengkel bubut dan mulai membangun usaha.

Seiring berjalannya waktu, mereka juga memperbaiki becak. Lalu, beberapa becak Sinar Laut mulai ditawarkan oleh Setyawati.

Agustine Menunjukkan Detail Pembuatan BecakKOMPAS.com/Markus Yuwono Agustine Menunjukkan Detail Pembuatan Becak
"Ada 10-an becak yang dibeli dan saat itu permintaan tinggi, akhirnya diputuskan membuat," katanya saat berbincang dengan Kompas.com di bengkelnya, Senin (28/8/2017).

Setelah permintaan terus meningkat, Setyawati mulai memberi nama becak buatan bengkel keluarga dengan nama "Sinar Laut" yang berarti sinar yang tak pernah padam.

"Model becak disempurnakan oleh Bapak Mertua (Lim) sehingga menjadi lebih mudah dikendarai dan akhirnya para pembeli semakin banyak," tuturnya kemudian.

(Baca juga: Di Amsterdam, Pemuda Ini Layani Tur Keliling Kota dengan Becak Yogya)

Menurut Agustine, tak semua orang bisa membuat becak dengan baik. Pasalnya, ukuran becak harus detail sehingga becak beroda tiga dengan rem di tangan bisa mudah dikendarai. Bahkan, lanjut dia, pegangan tangan untuk penumpang pun memiliki ukuran dan detail khas.

"Sampai detail ada ukurannya sendiri. Tidak semua orang paham hal itu," ujarnya.

Menurut dia, waktu itu becak populer pada zamannya sebagai alat transportasi paling mudah dan murah, juga langsung bisa digunakan untuk mencari uang.

"Becak itu tinggal mengayuh saja. Waktu itu, banyak orang yang menganggur dan ingin jadi tukang becak," ungkapnya.

Diekspor hingga Belanda

Pada tahun 1980-an, lanjut Agustine, becak menjadi jadi primadona masyarakat di Yogyakarta. Becak menjadi moda transportasi pilihan masyarakat, baik dari kalangan bangsawan hingga rakyat biasa.

Kebutuhan akan becak sama seperti kebutuhan akan transportasi lain di Yogyakarta, seperti andong.

"Dulu setiap hari bisa empat sampai lima becak setiap hari," kata Agustine.

Namun, setelah era transportasi modern dan penggunaan kendaraan pribadi meningkat, becak mulai terpinggirkan. Pola kebutuhan masyarakat bergeser ke moda transportasi seperti taksi.

Pesanan becak yang pada awalnya didominasi oleh pemilik becak bergeser ke pasar yang baru, seperti pesanan pertokoan dan hotel yang ingin menyajikan nuansa kota tua.

"Saat ini setiap bulan hanya satu," katanya.

Pabrik Pembuat Becak Sinar Laut di BantulKOMPAS.com/Markus Yuwono Pabrik Pembuat Becak Sinar Laut di Bantul
Agustine mengatakan, Becak Sinar Laut memproduksi dua jenis becak, yakni becak kayuh model besar dan model kecil. Saat ini, ada pula sedikit produksi model bentor.

Harganya bervariasi. Becak berukuran besar dijual dengan harga Rp 6,5 juta per unit, sedangkan ukuran kecil antara Rp 4-5 juta. Sementara itu, bentor dihargai Rp 9 juta. Itu pun pembeli harus membawa mesin motor sendiri.

Karya becak Sinar laut satu di antaranya dipajang di terminal kedatangan Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta. Meski pesanan dalam negeri menurun, becak buatan Sinar Laut kini juga dipesan oleh pembeli dari luar negeri.

"Saat ini, becak dibeli hotel, toko dan berbagai instansi, bahkan orang luar negeri," ucapnya.

Agustine mengatakan, bengkelnya sudah menjual becak ke India, Malaysia, Jerman, dan Belanda.

"Biasanya pembeli dari luar negeri melalui guide atau perantara. Untuk Belanda, seingat saya pada sekitar tahun 2009 ada (pesanan) dua unit," katanya.

Selain itu, pada sekitar tahun 2010 lalu, dirinya pernah mendapatkan pesanan becak dari SMK Piri Yogyakarta yang bekerjasama dengan Kementerian Riset dan Teknologi.

Becak menggunakan motor listrik dan bertenaga matahari. Pihaknya membuat 10 unit, namun hingga saat ini belum diketahui perkembangannya.

Sulitnya regenerasi

Agustine lalu curhat mengenai sulitnya regenerasi tukang yang ikut dalam pembuatan becak. Di bengkel miliknya saat ini, hanya ada 3 orang pegawai dan ditambah satu tukang kayu. Seorang di antaranya merupakan pegawai yang sudah berusia 55 tahun.

"Yang sulit membuat rangkanya, tidak semua orang bisa," ungkapnya.

Dia berharap, salah satu dari ketiga anaknya bisa meneruskan operasional bengkel pembuatan becak yang sudah turun-temurun.

"Ya ingin ada yang meneruskan,. Anak saya yang pertama sudah lulus kuliah, dan kedua, serta ketiga masih kuliah di UGM," ujarnya.

Sementara itu, di satu sudut kota Bantul, Slamet, seorang tukang becak, mengatakan, becaknya sudah berusia belasan tahun. Kini sudah tua dan setiap rusak, dia akan memperbaikinya.

Slamet mengaku, tak mampu membeli becak baru karena harganya sudah mencapai jutaan rupiah. Harga beli tak sebanding dengan penghasilan yang sehari-hari diperolehnya dari menarik becak.

"Becak baru saat ini mahal," tuturnya.

 

Kompas TV Warga Terima Paket Kebutuhan Pokok Gratis
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com