Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Perupa "Kampung", dari Corat-coret di Facebook hingga Ikut Pameran

Kompas.com - 04/08/2017, 07:00 WIB
Kontributor Yogyakarta, Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Herini namanya. Wanita asal Dagen RT 3, Desa Pendowoharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul ini menjadi ibu rumah tangga setiap harinya. Namun, perempuan berusia 43 tahun ini memiliki kemampuan sebagai perupa.

Tiga karya seni hasil karyanya dipamerkan bersama hasil seni milik Paguyuban Seni Imogiri, Dlinggo, dan Jetis (Sidji) di Jogja Galeri mulai 1 Agustus 2017 sampai 10 Agustus 2017.

Ya, Herini merupakan satu dari 24 perupa berlabel 'kampung' yang menjadi anggota Paguyuban Sidji. Latar belakangnya yang hanya sebagai IRT tak menyurutkannya untuk bisa menghasilkan karya seni.

Lukisannya dibuat dengan menggunakan teknik yang tak mudah dilakukan. Ia memakai teknik drawing dan menggunakan pensil sebagai alat melukisnya.

"Pensilnya yang 7 B sama 8 B. Tekniknya pakai arsir dan brush kuas. Teknik itu saya lakukan berulang-ulang supaya padat, menyerap ke pori-pori kanvas," kata Herini kepada Kompas.com di Jogja Galeri, Jalan Pekapalan, Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Selasa (1/8/2017).

Tiga karya miliknya yang dipamerkan di Jogja Galeri itu masing-masing memiliki judul. Antara lain Matahari di Kathulistiwa I, Matahari di Kathulistiwa II, dan Kontras.

(Baca juga: Perupa Pertama di Dunia Mungkin Berjenis Kelamin Perempuan)

Menurut Herini, dua karyanya yang berjudul Matahari di Kathulistiwa itu terinspirasi dari karya seni milik Anggit Purwoto.

"Saya lihat lukisan Mas Anggit soal anak-anak SD Sungkung 4. Terus saya mengabadikan anak-anak itu lewat drawing saya. Saya juga sudah izin dengan Mas Anggit, hasil karya saya juga diposting di Instagram Mas Anggit," kata Herini.

Dia mengaku sempat meneteskan air mata ketika menggarap dua karyanya tersebut. Bukan tanpa sebab, batinnya tersentuh ketika melihat penampilan anak-anak yang terlukis di karya milik Anggit Purwoto itu.

Menurut dia, kondisi anak-anak yang terlukis itu menunjukkan semangat sila kelima Pancasila belum merata di Indonesia.

"Kondisi itu juga berbeda jauh dengan yang di kota. Di lukisan itu, anak-anak tetap sekolah walau tidak pakai sepatu. Di kota, seragam beda saja sudah tidak mau sekolah," tutur Herini.

Untuk karya berjudul "Kontras", lanjut Herini, terinpirasi dengan kehidupan perempuan saat ini. Di karyanya itu, ia melukis seorang wanita tua membawa barang bawaan di atas kepalanya. Di belakang wanita tua itu terlihat sejumlah wanita yang berpakaian minim dan tampil modis.

"Di tengah banyaknya wanita yang menjadi kaum hedon, masih ada simbok yang bertahan dengan kondisinya dan apa yang dilakukannya," ucap Herini.

Dia menuturkan, proses pengerjaannya memang membutuhkan waktu yang lama. Untuk membuat tiga karya seni itu, dia membutuhkan waktu sekitar tiga bulan.

Herini mengatakan, proses pengerjaan mulai dari menyiapkan kanvas sampai finishing itu dilakukannya sendiri.

Halaman:



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com