KOMPAS.com - Panas matahari masih begitu menyengat di provinsi paling selatan Pulau Sumatra pemilik semboyan "Sai Bumi Ruwa Jurai", Lampung kala itu. Tepatnya di desa Tegal Yoso, Purbolinggo, Lampung Timur, senyum seorang wanita tua begitu cerah, secerah kerudung merah yang ia kenakan saat keluar dari rumah dengan menenteng sebuah "sorok".
Di Lampung, sorok merupakan sebutan untuk sebuah tongkat dengan papan melintang di bagian ujungnya yang biasa digunakan untuk mengumpulkan kembali hasil panen usai proses penjemuran dilakukan.
Kali ini, Kati, nama wanita tua berusia sekitar 60 tahun itu, tengah menyambut hasil panen jagungnya.
Halaman rumahnya yang luas dipenuhi biji jagung yang telah "dipipil" (dipisahkan dari tongkolnya). Dengan bertelanjang kaki, Kati dengan yakin menapaki lantai halaman yang tentu cukup panas setelah terpapar teriknya matahari selama seharian penuh.
Baca juga: Berkah Buah Naga di Tanah Gersang Para Transmigran
Transmigran asal Jawa Tengah
Atmo Parigi berkisah, ia yang dilahirkan di Wonogiri, Solo, Jawa Tengah bertransmigrasi ke Ibu Kota untuk tinggal bersama pamannya pada tahun 1950. "Saya dibesarkan paklik (paman) saya waktu itu. Tapi tiba-tiba keadaan berubah," kisah Atmo saat ditemui Kompas.com di kediamannya pada Jumat (28/7/2017).
Pada tahun 1965, lanjutnya, berdirinya rezim Orde Baru dan naiknya Soeharto ke panggung kekuasaan membuat kondisi Jakarta semakin tak menentu. "Jadi waktu itu ada gonjang ganjing politik Gestapo yang membuat hidup saya menjadi tidak 'jenak' (tenang)," kata dia.
Gestapo sendiri merupakan asosiasi dari istilah "gestapu" yang merupakan akronim dari "Gerakan 30 September" yang merupakan peristiwa semalam dimana tujuh orang perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha kudeta.
Saat itu gerakan gestapu dinilai sama kejamnya dengan tindakan gestapo dalam gerakan Nazi, Jerman.
Tak lama berselang, ia menikahi Kati yang merupakan tetangganya di kampung yang sama-bertransmigrasi dan mendapatkan enam orang anak. "Tidak hanya saya dan keluarga, di sekitar daerah sini juga ada transmigran-transmigran lain yang juga mengadu nasib di sini," ujarnya.
Para transmigran tersebut tak hanya datang dari Solo. Namun ada juga yang datang dari Kebumen, Sunda hingga Banyumas.
"Hingga saat ini masih ada blok-blok yang mengatasnamakan nama daerah mereka masing-masing sebelum transmugrasi ke Lampung, seperri Tegal Yoso Solo, Tegal Yoso Kebumen, Tanjung Inten Banyumas dan Tambah Dadi Pacitan," paparnya.
Baca juga: Cerita Transmigran dari Jawa yang Dianggap Perambah Hutan
Melawan gajah
Di Lampung Atmo dan istrinya bekerja sebagai petani. Dengan menanam berbagai jenis palawija Atmo mengais pundi-pundi rezeki di tanah rantau yang telah menjadi bagian penting dari hidupannya tersebut.
Pada tahun 1980-an Atmo sempat mengalami kejadian paling tak terlupakan sepanjang hidupnya. Ketika itu dia harus bertaruh nyawa untuk menyelamatkan hasil panenya.
"Saat itu saya menanam padi dan sudah waktunya panen. Saya sudah selesai memotong padi dan menumpuknya di tepi sawah. Tiba-tiba empat ekor gajah datang dan mendekati tumpukan panen saya," kisahnya.