Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Transmigran Lampung Berjibaku dengan Gajah

Kompas.com - 29/07/2017, 06:35 WIB
Sherly Puspita

Penulis

KOMPAS.com - Panas matahari masih begitu menyengat di provinsi paling selatan Pulau Sumatra pemilik semboyan "Sai Bumi Ruwa Jurai", Lampung kala itu. Tepatnya di desa Tegal Yoso, Purbolinggo, Lampung Timur, senyum seorang wanita tua begitu cerah, secerah kerudung merah yang ia kenakan saat keluar dari rumah dengan menenteng sebuah "sorok".

Di Lampung, sorok merupakan sebutan untuk sebuah tongkat dengan papan melintang di bagian ujungnya yang biasa digunakan untuk mengumpulkan kembali hasil panen usai proses penjemuran dilakukan.

Kali ini, Kati, nama wanita tua berusia sekitar 60 tahun itu, tengah menyambut hasil panen jagungnya.

Halaman rumahnya yang luas dipenuhi biji jagung yang telah "dipipil" (dipisahkan dari tongkolnya). Dengan bertelanjang kaki, Kati dengan yakin menapaki lantai halaman yang tentu cukup panas setelah terpapar teriknya matahari selama seharian penuh.

Kati dan Atmo Parigi (kanan) menjemur jagung pipil hasil panen di desa Tegal Yoso, Purbolinggo, Lampung Timur, Jumat (28/7/2017). Atmo Parigi dan istrinya bekerja sebagai petani sekaligus melindungi sawah dan kebunnya dari kawanan gajah liar.KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Kati dan Atmo Parigi (kanan) menjemur jagung pipil hasil panen di desa Tegal Yoso, Purbolinggo, Lampung Timur, Jumat (28/7/2017). Atmo Parigi dan istrinya bekerja sebagai petani sekaligus melindungi sawah dan kebunnya dari kawanan gajah liar.
Kati dan suaminya, Atmo Parigi (70) telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk tinggal di kawasan paling ujung sebelum memasuki posko konservasi gajah, ERU (Elephant Response Unit), Taman Nasional Way Kambas tersebut.

Baca juga: Berkah Buah Naga di Tanah Gersang Para Transmigran

Transmigran asal Jawa Tengah

Atmo Parigi berkisah, ia yang dilahirkan di Wonogiri, Solo, Jawa Tengah bertransmigrasi ke Ibu Kota untuk tinggal bersama pamannya pada tahun 1950. "Saya dibesarkan paklik (paman) saya waktu itu. Tapi tiba-tiba keadaan berubah," kisah Atmo saat ditemui Kompas.com di kediamannya pada Jumat (28/7/2017).

Pada tahun 1965, lanjutnya, berdirinya rezim Orde Baru dan naiknya Soeharto ke panggung kekuasaan membuat kondisi Jakarta semakin tak menentu. "Jadi waktu itu ada gonjang ganjing politik Gestapo yang membuat hidup saya menjadi tidak 'jenak' (tenang)," kata dia.

Gestapo sendiri merupakan asosiasi dari istilah "gestapu" yang merupakan akronim dari "Gerakan 30 September" yang merupakan peristiwa semalam dimana tujuh orang perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha kudeta.

Saat itu gerakan gestapu dinilai sama kejamnya dengan tindakan gestapo dalam gerakan Nazi, Jerman.

Kati dan Atmo Parigi (kanan) menjemur jagung pipil hasil panen di desa Tegal Yoso, Purbolinggo, Lampung Timur, Jumat (28/7/2017). Atmo Parigi dan istrinya bekerja sebagai petani sekaligus melindungi sawah dan kebunnya dari kawanan gajah liar.KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Kati dan Atmo Parigi (kanan) menjemur jagung pipil hasil panen di desa Tegal Yoso, Purbolinggo, Lampung Timur, Jumat (28/7/2017). Atmo Parigi dan istrinya bekerja sebagai petani sekaligus melindungi sawah dan kebunnya dari kawanan gajah liar.
"Sesampainya di Purbolinggo, saya membeli sebidang tanah dari hasil penjualan tanah di Solo dan membangun rumah sedikit demi sedikit," ucapnya.

Tak lama berselang, ia menikahi Kati yang merupakan tetangganya di kampung yang sama-bertransmigrasi dan mendapatkan enam orang anak. "Tidak hanya saya dan keluarga, di sekitar daerah sini juga ada transmigran-transmigran lain yang juga mengadu nasib di sini," ujarnya.

Para transmigran tersebut tak hanya datang dari Solo. Namun ada juga yang datang dari Kebumen, Sunda hingga Banyumas.

"Hingga saat ini masih ada blok-blok yang mengatasnamakan nama daerah mereka masing-masing sebelum transmugrasi ke Lampung, seperri Tegal Yoso Solo, Tegal Yoso Kebumen, Tanjung Inten Banyumas dan Tambah Dadi Pacitan," paparnya.

Baca juga: Cerita Transmigran dari Jawa yang Dianggap Perambah Hutan

Melawan gajah

Di Lampung Atmo dan istrinya bekerja sebagai petani. Dengan menanam berbagai jenis palawija Atmo mengais pundi-pundi rezeki di tanah rantau yang telah menjadi bagian penting dari hidupannya tersebut.

Pada tahun 1980-an Atmo sempat mengalami kejadian paling tak terlupakan sepanjang hidupnya. Ketika itu dia harus bertaruh nyawa untuk menyelamatkan hasil panenya.

"Saat itu saya menanam padi dan sudah waktunya panen. Saya sudah selesai memotong padi dan menumpuknya di tepi sawah. Tiba-tiba empat ekor gajah datang dan mendekati tumpukan panen saya," kisahnya.

Kati menjemur jagung pipil hasil panen di desa Tegal Yoso, Purbolinggo, Lampung Timur, Jumat (28/7/2017). Kati beserta suaminya, Atmo Parigi, bekerja sebagai petani sekaligus melindungi sawah dan kebunnya dari kawanan gajah liar.KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Kati menjemur jagung pipil hasil panen di desa Tegal Yoso, Purbolinggo, Lampung Timur, Jumat (28/7/2017). Kati beserta suaminya, Atmo Parigi, bekerja sebagai petani sekaligus melindungi sawah dan kebunnya dari kawanan gajah liar.
Dia lantas berusaha mengejar gajah-gajah tersebut untuk menyelamatkan penennya. Namun tak disangka-sangka, keempat gajah justru balik mengejar Atmo yang kala itu hanya seorang diri.

Halaman:



Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com