YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Di rumah kontrakan di RT 29/9, Kampung Rejowinangun, Kelurahan Rejowinangun, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, keluarga Sunarto (42) menetap selama tiga tahun terakhir.
Ia mendiami rumah semi permanen itu bersama istrinya, Sukinah (42) dan kedua anak perempuannya.
Rumahnya berdinding tripleks dan bilik bambu. Atapnya hanya seng yang warnanya sudah berkarat.
Rumah kontrakannya terbagi menjadi tiga ruangan. Ruangan pertama merupakan ruang tamu. Ruang tamu itu menjadi satu dengan kamar tidur Sunarto dengan Sukinah.
Di ruangan itu terlihat satu televisi 14 inc model lama yang gambarnya sudah pudar. Sedangkan ruangan kedua merupakan kamar anak pertamanya.
Berlantai paving block, kamar itu menjadi satu dengan dapur yang digunakan Sukinah memasak makanan sehari-hari.
Ruangan itu pun bersebelahan dengan ruangan ketiga yang merupakan kamar mandi.
Kesehariannya Sunarto menjadi tukang servis barang elektronik seperti kipas angin, tempat menanak nasi, dan lainnya.
Dengan kekurangan fisiknya, ia memperbaiki barang elektronik di rumah kontrakannya tersebut. Kaki kiri Sunarto mengalami kelumpuhan sejak usia satu tahun sehingga untuk berpindah tempat pun harus menaiki kursi roda.
Di balik kekurangannya tersebut, Sunarto memiliki mimpi yang mulia. Ia ingin menyekolahkan kedua anaknya sampai tingkat SMA, bahkan sampai jenjang perguruan tinggi. Ia tak ingin nasib anaknya seperti ayahnya yang menjadi tukang servis rumahan itu.
"Penghasilan tidak tentu, kadang sebulan juga pernah tidak ada yang servis. Saya juga tidak pernah mematok biaya servis, tarif servis saya juga seikhlasnya," ujar Sunarto ketika berbincang di rumah kontrakannya, Rabu (12/7/2017).
Baca juga: Perjuangan Anak Satpam Bisa Kuliah di UGM dengan Keterbatasan Ekonomi
Untuk mewujudkan impiannya, ia dan Sukinah mempersiapkan biaya sekolah untuk anak pertamanya, Sholikhah Nur Jannah (16). Sukinah pun mencari penghasilan dengan menjadi asisten rumah tangga di sekitar rumah kontrakannya. Setiap bulannya, Sukinah mendapatkan upah sebesar Rp 500.000.
"Tapi juga masih kurang cukup, karena kadang upahnya habis buat bayar sewa. Kemarin anak saya yang pertama juga ikut membantu ibunya waktu liburan sekolah, biar dapat uang lebih untuk masuk sekolah," kata pria yang tidak memiliki tempat tinggal tetap itu meski tercatat sebagai warga Kabupaten Bantul.
Mimpi Sunarto pun terjawab ketika pengumuman pendaftaran peserta didik baru (PPDB) tingkat SMA di DI Yogyakarta diumumkan Sabtu (8/7/2017). Nama anak pertamanya ternyata masuk ke daftar siswa baru salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di Kota Yogyakarta.
Anaknya lolos seleksi PPDB melalui jalur reguler. Tak ayal rasa bangga dan haru pun menyelimuti pria yang belajar menyervis barang elektronik dari gudang rongsokan tersebut.
Sunarto senang anaknya lolos masuk ke sekolah negeri karena merasa biayanya bakal lebih ringan ketimbang di sekolah swasta.
"Kata orang sekolah di negeri itu lebih murah. Dan teman saya juga bilang lebih murah. Makanya anak saya mencoba dan alhamdulillah diterima," ucap Sunarto.
Anggapan sekolah negeri lebih murah pupus sudah setelah Sunarto diminta membayar biaya pendaftaran ulang sebesar Rp 4.757.500. Biaya tersebut diketahui dari istrinya yang mengikuti rapat bersama semua orangtua yang anaknya diterima di SMKN tersebut, Senin (10/7/2017).
"Biaya itu untuk sumbangan pendidikan sebesar Rp 3 juta, Rp 982.000 untuk seragam, dan Rp 775.000 untuk seragam praktik. Untuk biaya sumbangan bisa dicicil sebanyak tiga kali, tapi harus lunas pada September 2017. Sedangkan uang seragam harus lunas," kata Sunarto.
Sunarto pun sempat kebingungan mencari uang seragam yang harus lunas sebelum masuk sekolah hari pertama pada Senin (17/7/2017) depan. Penghasilan yang tak menentu dari servis barang elektronik tak akan cukup untuk menutupi biaya seragam.
Beruntung, ia mendapatkan bantuan dari yayasan yang ada di Kota Yogyakarta berupa uang sebesar Rp 1 juta.
"Sudah disetorkan hari ini. Sekarang kami sedang memikirkan untuk menutupi kekurangannya," kata Sunarto.
Rela jual ginjal
Sunarto pun menyatakan akan menjual organ tubuhnya berupa ginjal untuk memenuhi biaya pendidikan anaknya tersebut. Ia rela berkorban untuk anaknya agar bisa mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, sehingga setelah lulus nanti bisa mandiri dengan keahlian dan kemampuannya.
"Saya pernah bilang, ginjal saya jual untuk sekolah. Anak saya harus sekolah setinggi-tingginya. Biar nanti kalau sudah lulus punya keahlian. Kalau punya modal sehingga bisa usaha sendiri," ujar Sunarto.
Sunarto pun yakin anaknya bisa membanggakan orangtuanya. Sebab putrinya juga selalu mendapatkan rangking satu dan dua selama duduk di bangku SMP. Selain itu, anaknya juga tak pernah meminta hal yang macam-macam kepada orangtuanya.
"Kalau sekolah, pakai sepeda. Sejak kecil dia juga rajin berpuasa Senin dan Kamis. Kalau tidak punya uang saku, puasa saja," kata Sunarto.
Baca juga: Perjuangan Witri demi Kuliah S-2, Buka Warung Lotis Kejujuran hingga Les Silat
Selain ingin menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, Sunarto ingin mempunyai usaha yang bisa memberikan penghasilan lebih atau tetap. Istrinya sempat berjualan nasi goreng bungkus, sate usus, dan gorengan yang dijual di warung atau kantin. Pendapatannya pun terbilang lumayan lantaran setiap hari bisa mengantongi laba bersih sebesar Rp 30.000.
"Sholikhah yang mengantar ke warung atau kantin. Tapi sekarang berhenti karena modalnya habis untuk biaya berobat dia yang sakit tipes," kata Sunarto yang juga memiliki keahlian menyablon di kertas dan plastik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.