Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kiosnya Digusur, Pedagang Stasiun Tugu Mengadu ke Ombudsman

Kompas.com - 11/07/2017, 15:18 WIB
Kontributor Yogyakarta, Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS - Sejumlah pedagang selatan Stasiun Tugu yang tergabung dalam Paguyuban Manunggal Karso mendatangi Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Jalan Wolter Monginsidi, Kota Yogyakarta, Selasa (11/7/2017).

Kedatangan mereka bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta itu untuk mengadukan PT Kereta Api Indonesia Daop VI yang telah menggusur kios di Jalan Pasar Kembang pada Rabu (5/7/2017).

"Kami ke sini agar ORI bisa melakukan pemeriksaaan adanya dugaan maladministrasi. Karena kami menilai beberapa indikasi yang diduga bentuk maladministrasi yang dilakukan PT KAI dalam proses penggusuran pedagang di Selatan Stasiun Tugu," kata Yogi Zul Fadhli, kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta, kepada wartawan di kantor ORI, Selasa.

Baca juga: Dinilai Kumuh, Kios-kios di Selatan Stasiun Tugu Dibongkar

Pertama, dikatakan Yogi, PT KAI Daop VI menuangkan beberapa dasar hukum dalam surat peringatan yang dilayangkan ke pedagang untuk melakukan penggusuran. Satu di antaranya peraturan daerah yang dikeluarkan Pemerintah DIY tentang penataan pedagang di trotoar.

Namun dasar hukum itu tidak sesuai dengan tugas PT KAI yang statusnya sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Fungsi pengawasan dan pengendalian pedangag di trotoar itu merupakan kewenangan pemerintah daerah, baik kota maupun provinsi. BUMN yang tidak ngurus hal bersifat publik, sementara pedestrian yang ingin mereka bangun itu merupakan sarana publik yang juga menjadi kewenangan pemda," ujar Yogi.

Kedua, kata Yogi, PT KAI merasa memiliki hak pakai atas tanah yang sebelumnya berdiri puluhan kios tersebut setelah mendapatkan surat kekancingan dari Keraton Yogyakarta pada 16 Desember 2015.

Tak konsisten

Padahal, kata dia, tanah berstatus Sultan Ground di DIY sudah tak ada lagi sejak 1984. Penghapusan tanah berstatus Sultan Ground itu pun diperkuat keputusan presiden dan peraturan menteri dalam negeri waktu itu.

"Artinya ketika PT KAI mengatakan ini tanah Keraton sehingga merasa punya hak pakai itu jelas salah kaprah karena sudah dihapus sejak 1984," ujar Yogi.

Selain itu, Yogi menambahkan, ada hal yang tidak konsisten dalam dasar hukum yang dituangkan PT KAI Daop VI dalam surat peringatan penggusuran tersebut. Sebab, PT KAI Daop VI juga menggunakan surat dari KPK, yaitu pengelolaan aset milik negara dalam hal ini di lingkungan PT KAI, untuk menggusur para pedagang.

"Jadi yang benar yang mana, ini tanah kekancingan atau aset negara. Ini hal yang tidak singkron antara dasar hukum satu dengan dasar hukum yang lain. Ini tanda tanya besar juga," ucap Yogi.

Baca juga: Percantik Kawasan Stasiun Tugu, PT KAI Tertibkan Lapak Pedagang

Ketiga, lanjut Yogi, surat yang dilayangkan PT KAI kepada para pedagang sebelum penggusuran itu dianggap tidak jelas. Sebab, dalam surat peringatan itu, PT KAI tak mencantumkan nama pedagang, nomor kios, nama kios, dan alamat yang jelas sehingga menyalahi norma dalam surat menyurat.

"Ini jadi masalah karena surat yang diberikan itu harus konkret dan individual. Ini bertentangan dalam tata usaha negara. Surat itu juga melanggar asas kepatuhan, karena selain dilayangkan tanpa tujuan yang jelas, menurut keterangan pedagang, yang memberikan surat bukan pegawai justru orang di luar PT KAI," ujar Yogi.

Indikasi maladministrasi itu, kata Yogi, telah disampaikan kepada ORI untuk bisa segera ditindaklanjuti. Rencananya, pihaknya dan pedagang juga akan mengadukan penggusuran tersebut ke Komnas HAM. Sebab, penggusuran tersebut juga bentuk pelangaran hak atas ekonomi dan pekerjaan menyusul pemiliki kios merupakan pedagang resmi.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com