Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tren Kasus Bunuh Diri di Gunungkidul Bergeser ke Usia Produktif

Kompas.com - 10/07/2017, 14:44 WIB
Markus Yuwono

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Dari Januari hingga 8 Juli 2017, jumlah kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta mencapai 20 orang dan 2 orang mencoba bunuh diri. Kasus terakhir, terjadi Sabtu (8/7/2017), pada T (63) warga Desa Bleberan, Kecamatan Playen.

"Total sudah ada 20 kasus bunuh diri, ini menjadi keprihatinan semua pihak," ujar Kasubag Humas Polres Gunungkidul Iptu Ngadino, Senin (10/7/2017).

Untuk menekan angka bunuh diri, pihaknya terus mensosialisasikan melalui Babinkamtibmas yang ada di setiap desa. "Kita terus mensosialisasikan pencegahan bunuh diri," imbuh dia.

Relawan LSM imaji (Inti Mata Jiwa), Sigit Wage Dhaksinarga mengatakan, melihat data tahun 2017 angka bunuh diri tak lagi didominasi usia tua. Namun sudah ke usia produktif antara 25-50 tahun.

(Baca juga: Tak Kuat Biayai Sekolah Anak, Seorang Kakek Gantung Diri)

 

"Melihat tren angka bunuh diri Tahun 2017 ini bergeser yakni usia produktif," kata Wage.

Dia mengatakan, untuk penyebab kasus bunuh diri cukup kompleks. Namun memang kasus depresi merupakan penyebab utama bunuh diri.

Dari penelitiannya sejak tahun 2010, Wage melihat, kasus bunuh diri di Gunungkidul tidak bisa dilihat dari ekonomi dan religius.

Sedangkan kecamatan yang paling banyak melakukan bunuh diri merupakan simpul ekonomi Gunungkidul seperti Wonosari, Semanu, dan Karangmojo.

"(Kasus bunuh diri) bukan semata-mata faktor ekonomi dan religius, faktanya ada orang (bunuh diri) setelah melakukan sembahyang, dan ada yang secara ekonomi sudah mapan," ulasnya.

(Baca juga: Usai Melahirkan, Seorang Perempuan Gantung Diri di Gorontalo)

 

Wage melihat perlu adanya pendampingan secara masif kepada masyarakat terutama yang berpotensi bunuh diri. Salah satunya menempatkan psikiater minimal di setiap kecamatan. Sebab, fakta yang ada saat ini, psikiater hanya ada satu.

"Di kecamatan Rongkop yang tiga tahun terakhir sudah mulai ramah jiwa 3 tahun terakhir, angka bunuh diri langsung turun," imbuhnya.

Bersama enam orang rekannya yang tergabung dalam relawan Imaji, pihaknya terus melakukan sosialisasi kesehatan jiwa. Dari catatannya, seluruh Gunungkidul ada 2.200 orang yang mengalami gangguan jiwa.

Padahal di Gunungkidul tak ada rumah sakit jiwa, dan psikiater kurang. Mirisnya, sebagian penderita tak memiliki KTP sehingga tidak bisa memiliki jaminan kesehatan. Padahal Depresi memerlukan pengobatan rutin, dan obat yang setiap hari harus diminum.

Dengan cara ini, minimal warga yang memiliki gangguan jiwa bisa hidup mandiri.

"Kita terus mendorong pemerintah untuk lebih peduli. Sampai saat ini saja, payung hukum tentang penanganan kasus bunuh diri ini saja belum dimiliki. Padahal sejak 2016 sudah digulirkan. Terakhir sebulan lalu saya ke pemkab belum ada perkembangan," bebernya.

Paradigma Bergeser

Pulung gantung sudah tak lagi menjadi penyebab utama mitos 'pulung gantung'. Dari cerita masyarakat, sebuah cahaya misterius yang berwarna merah datang dari atas langit dan jatuh ke sebuah rumah.

Nantinya, warga yang 'terpilih' akan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Kata pulung menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti beroleh bahagia (anugrah, hadiah, pangkat, dsb); kejatuhan bintang; ataupun mendapat kemalangan (kesulitan) akibat perbuatan orang lain.

"Paradigma masyarakat sudah mulai berubah saat ini bukan masalah pulung gantung. Saat ini masyarakat sudah mulai logis, tetapi memang masih ada yang percaya," ucapnya.

Masyarakat sudah mulai melihat depresi sebagai penyebab orang melakukan bunuh diri. Wage mengajak semua pihak untuk peduli terhadap lingkungan sekitar, termasuk dengan orang yang depresi.

(Baca juga: Disidang Keluarga karena Kasus Asusila, Kakek Ini Tewas Gantung Diri)

"Paling tidak jika menemukan, minimal dibawa ke petugas kesehatan. Tetapi, bagaimana petugas kesehatan concern terhadap masalah ini. Tenaga kesehatan belum banyak. Perlu gerakan semua pihak. Karena setresornya bermacam-macam, depresi butuh teman persoalan mau atau tidak orang untuk mendengarkan," imbuhnya.

Psikiater Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari yang juga anggota Satgas Berani Hidup Pemkab Dunungkidul, Ida Rochmawati mengatakan, Satgas bentukan tahun 2016 ini bekerja terus menerus menekan angka bunuh diri.

Ia menjelaskan, penyebab utama bunuh diri adalah depresi. Depresi merupakan gangguan suasana hati dimana seseorang menjadi murung, mudah lelah, dan hilang minat. Pada depresi berat dapat muncul ide bunuh diri.

Satgas sudah terus bekerja bersama masyarakat untuk melakukan pencegahan. Awalnya, karena belum adanya kesadaran masyarakat mengenai kesehatan jiwa, warga enggan memeriksakan diri maupun keluarganya ke psikiater.

Namun seiring perkembangan kesadaran masyarakat, mereka mulai berani berkonsultasi. Bahkan, beberapa hari lalu, ada pasien yang berkonsultasi, sehingga upaya bunuh dirinya bisa dicegah.

"Awalnya dulu pasien saya sudah kronis, bekas dari konsultasi ke 'orang pintar' dan sebagainya, tetapi sekarang sudah mulai berani berkonsultasi. Rata-rata 20 orang perhari konsultasi," imbuhnya.

Ida mengatakan, untuk memudahkan masyarakat berkonsultasi, hari ini ada beberapa Puskesmas yang sudah menjadikan kesehatan jiwa sebagai prioritas perhatian. Hal ini sangat membantu dalam upaya pemkab melakukan pencegahan bunuh diri.

"Misalnya di Puskesmas Paliyan dan beberapa Puskesmas lain sudah terasa geliatnya," ucapnya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com