KOMPAS.com – Buat para pelintas, kemacetan adalah hal menyebalkan. Tak terkecuali selama arus mudik dan balik Lebaran 2017
Namun, buat sejumlah warga di sepanjang Tol Cikampek-Palimanan (Cipali), kemacetan yang sama justru adalah berkah.
Pendapatan berlipat kali setahun sekali, itu yang terlintas dalam pikiran mereka. Mengais rezeki dan mengumpulkan pendapatan yang jauh melampaui pendapatan sehari-hari.
Sebagian dari mereka memanfaatkan kemacetan di jalan tol ini untuk menjajakan minuman dan makanan kepada para pelintas yang kehabisan bekal.
Rifki, misalnya. Dia berjualan minuman kopi, berdua dengan temannya.
Mereka mengaku bisa mengantongi keuntungan bersih Rp 200.000 per hari selama puncak arus balik. Padahal mereka hanya berjualan di lokasi itu hanya pada malam hari.
“Itu sudah keuntungan dari jualan minuman kopi, sudah dikurangi modal,” kata Rifki saat dijumpai di KM 106 Tol Cipali, Sabtu (1/7/2017).
Harga segelas kopi panas dibanderolnya Rp 5.000. Modalnya hanya termos air panas dan bubuk kopi sachet.
“Jaga empang, bayarannya tergantung hasil panen ikan. Per kuintal hasil panen dapat bayaran Rp 150.000,” celetuk seorang rekan Rifki yang juga ikut berjualan.
(Baca juga: Macet Terurai, "Contra-Flow" Tol Cipali Berakhir di KM 100)
Mereka bercerita, bisa dapat bayaran Rp 1 juta dalam periode tiga bulanan panen sudah bagus. Dalam kondisi panen empang buruk, mereka bisa dapat bayaran Rp 300.000.
Sementara itu, Marna, pendulang rezeki dadakan di tempat yang sama, menuturkan, dari berjualan air minum dalam kemasan botol di ruas jalan yang sama, dia bisa mengantongi uang Rp 500.000 dalam sehari.
Bedanya, angka yang dipegang Marna belum untung bersih. Dia mengaku mengeluarkan modal Rp 4.000 untuk setiap botol air minum dalam kemasan.
“Kalau untungnya, bisalah sehari bawa pulang Rp 100.000 pas macet mudik begini,” ujar Marna yang malu-malu saat dipotret.
Macet di Cipali
Pada Sabtu, kemacetan di ruas Tol Cipali yang dilintasi para pemudik untuk kembali ke Jakarta itu menggila mulai petang hari.
Contra-flow sampai diberlakukan untuk semua lajur jalan tol ini, memberlakukan semua lajur hanya untuk arah ke Jakarta, mulai sekitar pukul 17.30 WIB sampai pukul 19.00 WIB.
“Dari Kamis (29/6/2017), sudah begini macetnya. Tapi lawan arus baru sekarang,” ujar Rifki yang tinggal di kampung sekitar satu kilometer sejajar ruas Tol Cipali tempatnya berjualan.
(Baca juga: Buka Tutup Jalan di Tol Cipali Diberlakukan Selama Musim Mudik Lebaran)
Kompas.com, misalnya, butuh waktu lima jam terhitung dari KM 158 Tol Cipali, berlanjut ke Tol Jakarta-Cikampek, lalu berbelok ke Tol JORR, sampai tiba di Gerbang Tol Fatmawati 1, Jakarta Selatan. Waktu ini menggenapi 15 jam efektif perjalanan dari Salatiga ke Jakarta.
Itu sudah “tertolong” contra-flow satu lajur Tol Jakarta-Cikampek mulai KM 64-KM 35 selepas Tol Cipali. Sebelumnya di Tol Cipali, kemacetan juga baru dialami Kompas.com mulai KM 158.
Pelintas yang melaju lebih dulu malah terjebak kemacetan karena ada tabrakan beruntun di KM 53 hari itu sebelum contra flow diberlakukan.
Menelusuri media sosial, banyak pemudik dari arah yang sama dengan Kompas.com butuh waktu 33 jam untuk tiba kembali di Jakarta.
Situasi ini cukup dilematis buat para pelintas ketika semua tempat istirahat (rest area) disesaki pemudik yang lebih dulu sampai di jalan tol ini.
Tak sedikit pemudik yang kemudian memilih memarkir kendaraannya di bahu jalan untuk rehat sejenak dari perjalanan panjang. Pemandangan serupa piknik pun jamak dilihat, sampai akhirnya sejumlah polisi menyisir bahu jalan untuk meminta mereka beranjak dari bahu jalan.
“Lumayan, bisa dapat 5 kilogram. Sekilo bisa dijual Rp 2.000,” ujar salah satu pemulung yang ditemui Kompas.com di lokasi Rifki berjualan kopi.
Sehari-hari, dia mengaku belum tentu sehari bisa memulung dan mendapatkan hasil sampai 1 kilogram.
Satu lagi ironi dari tepi tol yang—setidaknya pada “musim” mudik—penuh sesak dengan berbagai mobil keluaran terbaru.