Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tumbilotohe, Momen yang Paling Ditunggu Anak-anak Jelang Idul Fitri

Kompas.com - 21/06/2017, 16:55 WIB
Rosyid A Azhar

Penulis

GORONTALO, KOMPAS.com - Jutaan lampu minyak menyala secara serentak di Gorontalo malam mulai ini, Kamis (21/6/2017) hingga dua hari ke depan.

Peristiwa ini biasa dinamakan Tumbilotohe atau malam pasang lampu untuk menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri.

Seluruh keluarga menyalakan lampu botol yang berbahan bakar minyak tanah dan diletakka di halaman atau jalan sekitar rumah mereka. Gemerlap cahayanya mulai daat dinikmati mulai selepas magrib hingga pagi harinya.

Lampu tradisional ini akan dinyalakan selama 3 hari. Selama itu pula masyarakat Gorontalo dan wisatawan dapat menikmati keindahan jutaan kerlip lampu yang memesona.

Keindahan Tumbilotohe ini bisa disaksikan mulai perbatasan Gorontalo dengan Sulawesi Utara di bagian timur hingga dengan Provinsi Sulawesi Tengah di bagian barat. Tidak hanya itu, masyarakat tetangga provinsi tersebut juga akan menyalakan lampu ini.

“Tumbilotohe atau malam pasang lampu adalah momen yang ditunggu anak-anak, mereka akan berkeliling kelurahan atau desa untuk bergembira sambil meminta “jakati” atau sedekah dari masyarakat,” kata Indra Dunggio, warga Kota Gorontalo.

Anak-anak secara berkelompok akan mendendangkan syair khas yang selalu ada saat malam pasang lampu tiba, mereka bernyari riang keliling kampung.

KOMPAS.COM/ROSYID AZHAR Bentuk awal lampu Tumbilotohe yang dibuat masyarakat Gorontalo. Mereka membuat wadah dari buah kelapa yang diisi minyak kelapa dan dinyalakan.
"Tumbilotohe, ti ka ita bubohe, mohile jakati, bubohe lo popoati (Pasang lampu, kak Ita dipukul, minta zakat pukul dengan pacul)" demikian bunyinya.

“Tumbilotohe selalu ramai, anak-anak menyambut dengan gembira, mereka akan mengunjungi keluarga meminta sedekah sambil menyanyikan lagu khas tumbilotohe,” kata M Achril Babyonggo, Camat Suwawa Kabupaten Bone Bolango, yang memiliki peran sebagai wulea lo lipu (pemimpin negeri).

(Baca juga: Menikmati Takjil Bubur Lodeh, Tradisi Buka Puasa dari Abad ke-16)

Kegembiraan anak-anak ini disambut keluarga yang dikunjungi, mereka memberikan sedekah berupa recehan uang kertas baru yang bersih. Keriangan ini berlanjut dari rumah ke rumah sambil terus mendendangkan lagu khas ini.

Tradisi malam pasang lampu ini sudah lama ada. Diperkirakan sejak awal berkembangnya Islam di Gorontalo, kebiasaan ini sudah dilakukan oleh masyarakat dengan media lampu yang berbeda.

Pada masa awal perkembangan Islam di Gorontalo, masyarakat mempercayai lampu tumbilotohe dibuat dari bahan yang sederhana, mereka menyalakan damar atau minyak kelapa yang dituangkan dalam “wadah” buah pepaya atau kelapa yang dipotong menjadi dua.

Tokoh adat Gorontalo, almarhum Medi Botutihe, pernah menuturkan, tumbilotohe pada awalnya digunakan untuk menerangi masyarakat yang membagi zakat. Masyarakat menyalakan lampu di depan rumahnya karena pada waktu itu belum ada penerangan listrik atau lampu yang memadai.

Dari proses pembagian zakat inilah tumbilotohe berkembang menjadi luas di tengah masyarakat Gorontalo. Setiap tahun 3 hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, masyarakat memasang lampu minyak di sekitar rumah mereka.

Tujuan awalnya untuk membantu proses distribusi zakat sudah bergeser menjadi sajian budaya yang menarik, menghadirkan gemerlap jutaan lampu yang disiapkan oleh masyarakat dalam waktu 3 hari.

“Sekarang satu rumah tangga bisa memasang puluhan lampu, ini yang memperindah suasana menjelang lebaran dan sangat disukai anak-anak,” tutur Indra.

Peralihan penggunaan bahan bakar lampu tumbilotohe tidak diketahui kapan, namun hadirnya minyak tanah pada masa itu memudahkan masyarakat membuat lampu.

Perubahan bahan bakar ke minyak tanah ini juga mengubah medianya menjadi botol kaca atau kaleng. Hingga saat ini yang lazim digunakan oleh masyarakat adalah limbah minuman suplemen.

KOMPAS.COM/ROSYID AZHAR Seorang anak menikmati tradisi Tumbilotohe atau malam pasang lampu di Gorontalo. Tradisi ini dilakukan pada 3 hari menjelang Hari Raya Idul Fitri
Botol lampu yang disertai sumbu kompor ini dijajakan di pinggir jalan dengan harga Rp 5.000 untuk empat buah lampu.

“Menikmati Tumbilotohe sekarang dengan risiko lubang hidung hitam karena menghirup jelaga lampu minyak tanah,” kata Indra tertawa.

Gayung bersambut, fenomena budaya ini dianggap menarik oleh Dinas Pariwisata Provinsi Gorontalo dijadikan daya tarik wisata yang memikat.

Mereka menyediakan berdrum-drum minyak tanah untuk dibagikan kepada masyarakat yang mengelola tumbilotohe secara kolektif. Bantuan ini mengurangi beban masyarakat yang harus membeli minyak tanah dengan harga mahal sejak subsidi dicabut.

“Kami menyediakan 18.000 liter minyak tanah dari Bitung, Sulawesi Utara. Bahan bakar ini kami gunakan untuk mendukung tumbilotohe di area tertentu yang strategis dan dibagikan ke masyarakat,” kata Resma Kobakoran, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Gorontalo.

Untuk meletakkan dan menata lampu tumbilotohe ini, sejak sebelum bulan Ramadan sebagian masyarakat sudah mendirikan tiang-tiang kayu di kedua sisi jalan. Di tiang inilah lampu-lampu itu digantung.

Selain di pinggir jalan, lampu botol ini juga ditempatkan di lapangan, sawah, bantara sungai hingga pinggiran Danau Limboto.

“Keunikan lampu di pinggir sungai atau danau adalah refleksinya menambah gemerlap cahaya,” ungkap Indra.

Saat dinyalakan serentak selepas shalat maghrib malam ini, kegembiraan masyarakat meluap, mereka akan berkeliling untuk menikmati indahnya lampu di berbagai tempat.

Kemeriahan cahaya lampu juga ada di sekolah, para siswa ditugasi gurunya untuk menyediakan lampu botol.

“Putri kami membawa lampu dan minyak tanah, mereka juga menyemarakkan tumbilotohe di sekolahnya,” kata Ilona Sinorita, warga Kota Gorontalo.

Malam pasang lampu selalu dinanti, tidak hanya warga Gorontalo. Para wisatawan juga bisa menikmati sambil keliling kota atau menyusur pedesaan yang syahdu. Gemerlap lampu tumbilotohe akan terus menyala hingga subuh.

Warga Gorontalo tidak peduli seberapa mahal harga minyak tanpa subsidi saat ini, bagi mereka malam pasang lampu adalah peristiwa istimewa yang datang menjelang Idul Fitri.

Beban membuat gemerlap lampu pada malam hari dipikul bersama tanpa perlu perintah. Mereka sudah menyiapkan sejak sebelum Ramadan tiba.

Keindahan visual tidak menjadi tujuan semata, di balik gemerkapnya jutaan lampu di Gorontalo, petugas amil zakat fitrah terus bekerja, menghimpun beras dari setiap jiwa manusia yang beragama Islam untuk disalurkan ke warga yang kurang mampu agar mereka bisa menikmati indahnya Idul Fitri.

Dalam gemerlap lampu ini juga, anak-anak bergembira beranjangsana mengunjungi rumah-rumah warga untuk meminta sedekah.

Mulai malam ini dan 2 hari ke depan, anak-anak di Gorontalo akan mendendangkan "Tumbilotohe, ti ka ita bubohe, mohile jakati, bubohe lo popoati" di bawah gemerapnya lampu tumbilotohe, tidak peduli hidung mereka menghitam dipenuhi jelaga hasil pembakaran minyak tanah.

 

 

Kompas TV Bubur ini jadi hidangan warisan nenek moyang di masjid tertua yang terus dipertahankan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com