Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Gugat Ibunya Rp 1,8 Miliar dan Cerita Malin Kundang

Kompas.com - 14/06/2017, 06:16 WIB
Ari Maulana Karang

Penulis

GARUT, KOMPAS.com – Siti Rokayah (85), hingga saat ini masih tak percaya dirinya harus berperkara di Pengadilan Negeri Garut.

Semua itu, berawal dari gugatan Yani Suryani, anak kandungnya dan suaminya yang merasa Siti Rokayah berutang kepadanya senilai Rp 40 juta lebih hingga melakukan gugatan perdata dengan nilai ganti rugi mencapai Rp 1,8 miliar.

Utang piutang antara Amih, demikian Siti Rokayah biasa dipanggil berawal dari usaha salah satu anaknya yaitu Asep Rohendi yang kesulitan hingga akhirnya terjerat kredit macet senilai Rp 40 juta lebih di salah satu bank pada tahun 2011.

Saat itu, Yani membantu kesulitan Asep, adiknya dengan memberi bantuan senilai tunggakan kredit di bank. Dengan syarat sertifikat hak milik (SHM) tanah dan bangunan milik Amih di kawasan Garut Kota, dibaliknamakan menjadi atas nama Handoyo Adianto suami dari Yani Suryani.

“Permintaan balik namanya ditolak pihak keluarga, tapi akhirnya Handoyo (suami Yani) tetap memberi pinjaman," kata Eef Rusdiana, salah satu anak Amih yang ditunjuk menjadi juru bicara pihak keluarga Amih.

Namun, bantuan dari Handoyo tersebut, menurut Eef teknis pembayarannya, tidak dituangkan secara rinci dalam perjanjian yang hanya diketahui oleh Amih beserta Asep beserta Yani dan Handoyo.

“Disampaikan secara lisan teknisnya yaitu 50 persen ditransfer dan sisanya disetorkan langsung oleh Yani agar sertifikat milik ibu saya bisa disimpan Yani,” katanya.

Baca juga: Anak & Menantu Nenek Tergugat Rp 1,8 Miliar Angkat Bicara

Belakangan, menurut Eef, Handoyo ternyata hanya memberikan pinjaman pelunasan kredit ke bank hanya sebesar Rp 21,5 juta saja. Karena, pelunasan sisa tunggakan kredit ke bank, dibayar oleh keluarganya yang lain senilai Rp 22,5 juta pada tahun 2014.

“Transfer pelunasan sisa tunggakan ada bukti setorannya ke bank, tahun 2014. Makanya, sebenarnya utang kakak saya hanya Rp 21,5 juta ke Handoyo,” ujar Eef.

Masalah utang piutang ini, menurut Eef sempat sudah tidak pernah dibahas lagi oleh keluarga. Namun, pada Oktober 2016 lalu, Yani bersama suaminya yang tinggal di Jakarta datang menemui Amih di Garut dan membujuk Amih untuk menandatangani surat pengakuan utang senilai Rp 41,5 juta.

“Mereka memaksa ibu saya menandatangani pengakuan utang sebesar Rp 41,5 juta, padahal utang kakak saya (Asep Ruhendi) hanya setengahnya, menurut versi mereka, pinjaman sisanya telah dibayarkan secara tunai, kakak saya dan ibu saya tidak pernah menerimanya,” ujarnya.

Dia memaparkan, dari cerita ibunya, surat perjanjian utang tertanggal 8 Oktober 2016 tersebut ditandatanganinya karena merasa kasihan dan khawatir terhadap Yani yang mengatakan jika surat tersebut tidak ditandatangani, maka Yani akan diceraikan Handoyo.

“Saya bersama saudara saya yang lain juga nandatangan sebagai saksi karena takut Yani dicerai,” kata Eef yang mengaku menyesal menandatangani surat tersebut yang akhirnya dijadikan dasar gugatan kepada ibunya.

Dalam surat perjanjian utang tersebut, menurut Eef, Ibunya harus mengakui telah erhutang pada tanggal 6 Februari 2001 senilai 501,5 gram emas murni dan pelunasannya telah melewati batas waktu yang dijanjikan yaitu selama dua tahun.

Nilai utang saat itu adalah Rp 40.274.904 yang setara dengan harga emas murni sebanyak 501,5 gram dengan harga per gram emas tahun 2001 sebesar Rp 80.200.

Hingga akhirnya, pada Februari 2017, Yani dan Handoyo suaminya, mengajukan gugatan perdata berdasarkan surat utang tersebut dengan tergugat pertama Amih dan tergugat dua Asep Ruhendi.

Baca juga: Digugat Anak Rp 1,8 Miliar, Sang Ibu Tak Dendam dan Terus Mendoakan

Upaya mediasi sendiri, telah dilakukan dengan berbagai cara hingga akhirnya kasus maju ke persidangan dan menarik perhatian media.

Setelah berita anak menggugat ibu kandungnya sendiri senilai Rp 1,8 miliar ramai di media, berbagai pihak pun berupaya turun tangan melakukan mediasi, termasuk Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Namun, Handoyo dan Yani istrinya bergeming.

Dedi sendiri, awalnya melihat masalah ini masalah keluarga biasa yang tak perlu sampai ke pengadilan yang saat Dedi menemui Amih sudah memasuki sidang keenam. Dedi pun sengaja menemui Amih di rumahnya pada Sabtu (25/3/2017) dan berjanji akan membantu Amih.

“Siapapun yang melawan ibu, akan saya bela ibu itu,” tegas Dedi yang mengajukan diri menjadi kuasa untuk menyelesaikan masalah Amih.

Namun, upaya Dedi menemui Handoyo tidak bisa terlaksana, Dedi mengaku hanya bisa berkomunikasi dengan Handoyo lewat pesan singkat di ponsel.

Saat itu, Dedi malah ditanyai lulusan sekolah mana oleh Handoyo. “Dia nanya saya lulusan mana, kalau dia lulusan IKIP dan ITB,” katanya sambil tersenyum, saat ditemui di rumah Amih (30/5/2017).

Saat itu, Dedi mengaku telah meminta kepada Handoyo untuk menyelesaikan kasusnya secara kekeluargaan karena kasihan terhadap Amih yang di usia tuanya harus berhadapan dengan hukum. Namun, Handoyo bergeming dengan dalih telah menyiapkan program trauma healing untuk Amih.

Handoyo sendiri mengaku, gugatannya dilanjut bukan semata-mata untuk menuntut Amih. Dirinya pun telah menyiapkan paket "kasih sayang" untuk ibu mertuanya setelah beres sidang.

Baca juga: Penggugat Sang Ibu Rp 1,8 Miliar Siapkan Paket "Kasih Sayang" untuk Siti Rokayah

"Kalau kalian tahu, Amih itu paling sayang ke saya dan istri saya selama ini. Saya malah sudah menyiapkan paket 'kasih sayang' untuk Amih setelah sidang ini. Nanti juga saat sidang sekarang akan terbuka semuanya," jelas Handoyo kepada wartawan sebelum sidang dimulai di Pengadilan Negeri Garut, Kamis (30/3/2017).

Karena pintu mediasi telah tertutup, pihak keluarga pun berupaya meyakinkan hakim di persidangan dalam kasus gugatan perdata tersebut. Salah satunya dengan menghadirkan saksi ahli pakar hukum perdata Prof DR H Mashudi SH MH yang juga guru besar di Universitas Padjadjaran Bandung pada sidang yang digelar 7 Juni 2017 di Pengadilan Negeri Garut.

Dalam kesaksiannya, Mashudi menilai gugatan yang dilakukan Handoyo dan istrinya bisa batal demi hukum karena banyak hal yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan hukum perdata. Salah satunya adalah asas kepatutan.

“Dalam pasal 1339, perjanjian tidak hanya mengikat apa yang tertulis dalam perjanjian, tapi juga diharuskan mentaati kepatutan, kebiasaan dan undang-undang, jika bertentangan dengan kepatutan, maka batal demi hukum,” tegasnya.

Dalam kesaksiannya, Mashudi juga mengingatkan kepada penggugat soal dongeng Malin Kundang karena yang digugatnya tidak lain ibu kandungnya.

“Hati-hati, ada contoh kejadian Malin Kundang agar diperhatikan, sangat bahaya, bila ibu katakan yang tidak baik ke kita, bisa kejadian, bahaya itu,” katanya.

Baca juga: Cerita Malin Kundang untuk Anak yang Gugat Ibunya Rp 1,8 Miliar

Hari ini, persidangan kasus gugatan antara Yani Suryani dan Handoyo suaminya melawan Siti Rokayah (Amih) dan Asep Ruhendi, kembali digelar di Pengadilan Negeri Garut dengan agenda pembacaan putusan.

Baca juga: Cerita Malin Kundang untuk Anak yang Gugat Ibunya Rp 1,8 Miliar

Kompas TV Tangis Amih Untuk Handoyo dan Yani

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com