Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Air Danau Toba Tercemar, Warga Terpaksa Jalan Kaki 3 Km untuk Dapat Air Bersih

Kompas.com - 13/06/2017, 07:00 WIB

SAMOSIR, KOMPAS.com - Masyarakat pesisir Danau Toba, tepatnya di Desa Huta Ginjang Lontung, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, menghadapi persoalan serius.

Mereka yang berdiam di tepi danau kesulitan mendapatkan air bersih untuk minum. Warga pun terpaksa berjalan ke perbukitan dengan jarak sekitar 3 kilometer untuk mencari sumber air lalu membawa ke rumah.

"Kami mau mengambil air minum ke bukit sana. Tiap pagi dan sore begini. Banyak teman-teman sekampung ini tugasnya mengambil air minum setiap hari. Itulah sumber air minum kami satu-satunya," ujar Giovan Situmorang, warga Desa Huta Ginjang Lontung, yang memiki rutinitas mengambil air dari sumber mata air di perbukitan.

Gio masih bersekolah. Ia siswa SMP. Menurut Gio, teman-teman seusianya bahkan yang lebih muda sudah terbiasa melakukan punya tugas utama menjunjung atau memikul air dari perbukitan.

Ibarat perumpaan menyebut, ayam mati kelaparan di lumbung padi. Demikianlah kiranya tidak berlebihan menyebut sebagian masyarakat Pulau Samosir mengalami kesulitan air bersih akibat Danau Toba tercemar limbah.

"Air danau persis di bawah kaki kami. Karena memang berada di depan rumah. Tapi kami harus berjalan berkilo-kilometer demi mendapat air minum. Karena air danau, sumber air minum kami sebelumnya, sudah tidak bisa lagi kami konsumsi, " ujar seorang ibu, Boru Nainggolan, warga Huta Ginjang Lontung yang tinggal di tepian danau, seraya menunjuk Keramba Jaring Apung (KJA) yang sepelemparan batu dari rumahnya.

Berdasarkan pantauan di Desa Huta Ginjang Lontung, belum lama ini, para remaja memang sibuk mengangkut air untuk keperluan rumah. Bahkan sejak pagi, mereka sudah disibukkan aktivitas menyediakan air bersih.

Hari itu, fajar senja nyata. Tanda-tanda kehidupan mulai tampak dilakukan warga pesisir Danau Toba. Beberapa anak sebelum berangkat sekolah memulai aktivitasnya dengan mengambil air minum di daerah berbukit berjaraknya hampir tiga kilometer dari perkampungan.

(Baca juga: JK: Tanah Sekitar Danau Toba Boleh Gersang, tetapi Otak Jangan)

Rutinitas tersebut dilakukan anak-anak sebelum pergi ke sekolah, telah dilakoni beberapa tahun belakangan. Sebabnya, sumber air minum sebelumnya yaitu air Danau Toba sudah tidak layak lagi dikonsumsi.

Air ditampung menggunakan ember atau jeriken. Perempuan umumnya menjunjung ember, sedangkan laki-laki membawa jeriken di pundak.

Menurut warga, mereka harus menempuh jarak jauh tersebut untuk memperoleh air minum sejak keberadaan Keramba Jaring Apung (KJA) milik PT Aquafarm Nusantara di perairan Danau Toba pada tahun 2000-an.

Jarak KJA ini dari daratan perkampungan Huta Ginjang Lontung hanya sekitar 200 meter. Desa ini bisa ditempuh dari Tomok selama 30 menit dengan mengendarai sepeda motor.

KOMPAS.com/Mei Leandha Nelayan tradisional di Danau Toba yang terus mengeluh hasil tangkapannya terus menurun, Senin (3/4/2017)
Air danau di di depan rumah Boru Nainggolan sudah tampak keruh dipenuhi lumut, sisa pakan ikan atau pelet, sampah plastik, eceng gondok dan berbagai sampah tumbuh-tumbuhan. Kondisi perairan seperti ini tampak hampir di seluruh penjuru Desa Huta Ginjang.

Keramba berbentuk bulat dan berjejar yang dibarengi dengan rumah apung kecil. Rumah apung berwarna biru dan berisi karung pakan ikan yang tersusun bertumpuk. Kapal pengangkut pakan ikan pun lalu-lalang.

Beberapa pekerja keramba beraktivitas menabur pakan ikan, seperti pekerja pada perusahaan umumnya, rutinitas pekerja dimulai pukul 08.00 dan berakhir pada pukul 17.00 WIB.

Menurut warga, pakan ikan yang ditabur ke danau telah memengaruhi rasa dan warna air Danau Toba, semula bening dan tawar, kini jadi keruh. Rasa air Danau Toba yang dulu enak diminum kini saat diteguk memiliki rasa-rasa tidak mengenakkan tenggorokan.

Kebiasaan warga sebelum adanya aktivitas KJA, seperti sepulang dari ladang langsung ke Danau Toba dan bisa langsung menenggak air danau, kini sudah tidak ada lagi. Warga takut langsung mengonsumsi air danau sebagai air minum maupun memasak. Kalau pun dimanfaatkan, air danau digunakan untuk mandi, mencuci dan kakus.

Desa Silimalombu, desa tetangga Huta Ginjang Lontung yang berjarak 50 menit dari Tomok, juga dipenuhi keramba milik PT Aquafarm Nusantara. Kondisinya membuat lebih miris. Warga terpaksa mengonsumsi air danau yang sisa-sisa pakan ikan, dan berlumut, lantaran tidak memiliki sumber air minum alternatif lain.

"Sumber air minum kami dari danau ini saja. Dari mana lagi kami mau ambil. Kalau dulu memang jarang masak air minum kami, karena bisa langsung minum air danaunya, sekarang wajib masak. Masak airnya pun harus benar-benar mendidih. Sejak ada keramba itulah begini kami," ujar Boru Gultom.

Didampingi suaminya, marga Sitohang, Boru Gultom menyampaikan selain air minum, warga juga memanfaatkan air danau untuk aktivitas mandi, mencuci dan kakus. Namun tidak seperti dulu, yaitu langsung mencuci dan mandi di danau.

Saat ini, warga sudah mengalirkan air danau menggunakan pompa air ke rumah dan sisa air cucian pun tidak langsung dialirkan ke danau.

"Dulu kami mandi dan cuci di danau. Sekarang enggak lagi. Kami udah buat pipa-pipa ke rumah. Tidak ada lagi limbah mandi dan cuci kami di danau. Sudah di rumah kami nyuci dan mandi," ujarnya.

Air berubah warna

Menurut Boru Gultom, belakangan dibangun sumur bor air minum. Namun kualitas air dari sumur bor ini lebih memprihatinkan dari air danau.

"Bau karat airnya. Enggak terminumlah," ujarnya.

Dok Karim Raslan Danau Toba adalah pusat wisata yang berkembang di Sumatera Utara.
Anggiat Sinaga, pegiat Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang berkegiatan di Kabupaten Samosir, menuturkan, sepuluh tahun terakhir dia melihat kondisi air Danau Toba berubah warna.

"Kami sudah sering melihat perubahan warna air Danau Toba. Kadang biru, kadang hijau, kadang coklat seperti lumpur. Ada fase-fasenya. Kalau ada ombak kencang pasti berubah warna air Danau Tobanya," ujar Anggiat di Lontung beberapa hari lalu.

Berdasarkan pengamatan, saat angin kencang di daerah Tomok yang memicu ombak, kondisi air tampak berwarna cokelat seperti berlumpur. Air pun berbau seperti aroma amis pakan ikan, pelet.

"Biasa ini kalau ada ombak dek. Apalagi dulu pas dekat sini keremba Aquafarm sana. Cokelat kalilah airnya," ujar Bakkara, warga Tuktuk.

Anggiat melanjutkan, tidak tahu secara ilmiah penyebab perubahan dari air Danau Toba. Namun satu hal peristiwa yang dicatatnya adalah pada 27 Oktober 2016, air Danau Toba berubah menjadi warna hijau dan serentak membuat ikan-ikan lunglai dan mengambang.

"Kejadiannya di Sabulan. Nelayan tradisional dengan gampang menangkapi ikan itu. Itu sebuah rezeki nomplok bagi warga. Cuma kami enggak tahu apalah efeknya nanti di kemudian hari. Cuma waktu itu orang kantor kecamatan mengimbau warga tidak minum air danau," ujarnya.

Walaupun air sering berubah warna, masyarakat Kabupaten Samosir terutama yang tinggal di daerah pinggiran Danau Toba masih menggunakan air Danau Toba yang berubah warna tersebut untuk mencuci dan mandi dan bahkan untuk minum.

Masyarakat Samosir, lanjut Anggiat, mayoritas masih menggunakan air yang bersumber Danau Toba. Bahkan perusahaan air minum daerah PDAM Tirtanadi yang ada di Samosir, sumber airnya, berasal dari Danau Toba yang diolah menggunakan penjerni air, kaporit atau senyawa kimia kalsium hipoklorit.

"Paling 20 persen penduduk Samosir ini yang menggunakan air gunung," ujar Anggiat.

Berenang terganggu

Cerita Anggiat, dulu air Danau Toba sangat bening. Saat masih sekolah di bangku SMP pada tahun 90-an, dia kerap berenang di Danau Toba tanpa menggunakan kacamata, akan melihat ikan-ikan berenang, begitu juga dengan rumput-rumput yang tumbuh di Danau Toba. Sekarang pakai kacamata saja sudah susah berenang di Danau Toba.

Beberapa pedatang ke Danau Toba mengeluhkan tidak enak lagi berenang di Danau Toba. Airnya sudah lengket dan kadang membuat sekujur tubuh gatal. Beberapa pendatang pun harus terpaksa mandi lagi guna menghilangkan rasa lengket dan gatal di tubuh.

Gatal-gatal ini menurutnya terjadi karena adanya sejenis jentik-jentik berwana hijau yang belum mereka ketahui apakah itu binatang atau tumbuhan. Namun rasa gatal bagi warga sekitar yang mandi di Danau Toba sudah tidak terasa lagi.

"Kalau habis mandi di danau. Terus digaruk tangannya sedikit pasti kulit tampak seperti bersisik. Udah begitu pasti ada rasa gatal kalau belum biasa mandi di Danau Toba. Kalau warga sini sudah kebas rasa gatal karena mandi di Danau Toba," ungkapnya.

Anggiat juga mengutarakan, binatang-binatang sejenis lintah dan kutu air yang sempat heboh di media beberapa bulan lalu memang sudah muncul di berbagai lokasi di pulau Samosir, terutama di daerah-daerah yang banyak eceng gondok.

"Kalau tempat yang sering dikunjungi orang dan berpasir, jarang memang lintah dan kutu air itu. Lintahnya banyak di daerah yang banyak eceng gondok aja. Cuma kita enggak tahu ke depan makin banyak atau tidak," ujarnya.

Saat ini, beberapa ikan ciri khas atau endemik Danau Toba sudah berkurang, bahkan hampir punah, seperti ikan pora-pora dan ikan bujuk. Ikan-ikan kalah bersaing dengan ikan-ikan baru yang ditebar pemerintah dan orang-orang yang mengaku pecinta lingkungan.(ryd)

Berita ini telah tayang di Tribun Medan, Senin (12/6/2017), dengan judul: Air Danau Toba Tercemar Limbah, Warga Terpaksa Jalan Kaki 3 KM untuk Dapat Air Bersih

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com