Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menantang Maut di Puncak Marapi

Kompas.com - 11/06/2017, 06:54 WIB

KOMPAS - Berstatus waspada sejak 13 Agustus 2011 tak lantas membuat Gunung Marapi yang terletak di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, ditakuti pendaki.

Meski harus menantang maut, setiap tahun, ribuan orang datang dan mendaki gunung setinggi 2.891 meter di atas permukaan laut itu. Tak terkecuali Yandri (15) dan teman-temannya.

Rabu (7/6/2017) siang, pelajar SMP itu terbaring lemah di kamar kelas utama ruang bedah Rumah Sakit Umum Daerah Prof DR M Ali Hanafiah, Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar. Selang infus menancap di pergelangan tangannya. Wajahnya terlihat pucat dengan sejumlah luka gores.

Dua paman Yandri, Radesman (28) dan Budi Utomo (35), setia menemani. "Kondisinya sudah lebih baik. Namun, dia masih trauma. Setiap terbangun, dia menangis dan bercerita tentang pengalaman saat ditinggal sendiri di puncak Marapi. Kami berharap dia segera pulih," kata Radesman.

Yandri yang berasal dari Pulau Inggu, Kecamatan Benai, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, adalah korban terakhir yang selamat dari erupsi Marapi, Minggu (4/6) pagi. Saat erupsi pertama Marapi, Yandri bersama 15 temannya tengah berada di puncak Marapi.

Terpisah

Menurut Muhammad Rizki (21) dari Mapala Universitas Andalas yang turut melakukan evakuasi, saat erupsi, Yandri terpisah dari rombongan. Yandri berlari ke arah bibir kawah, sedangkan temannya berlari ke arah jalur pendakian Simabur, Kecamatan Pariangan, Tanah Datar.

Sadar dirinya terpisah, Yandri berusaha menyusul teman-temannya. Sayangnya, erupsi kembali terjadi. Yandri pun terjatuh ke lembah sedalam 3 meter yang berjarak 2 kilometer dari kawah. Situasi panik ditambah hujan abu vulkanik membuat temannya tidak bisa kembali untuk menyelamatkannya.

Tujuh pendaki berhasil turun dengan selamat, Minggu malam. Mereka terpisah dari sembilan pendaki lain, termasuk Yandri. Para pendaki yang berhasil turun syok berat dan tak bicara saat tiba di pintu masuk Marapi.

Minggu malam itu, delapan pendaki diketahui keberadaannya. Tim SAR gabungan langsung melakukan pencarian. Senin siang mereka ditemukan dan dievakuasi. Sementara lokasi Yandri belum diketahui.

Hampir tiga hari pencarian, banyak yang menduga Yandri tewas, apalagi Selasa siang, Marapi erupsi lebih dari 50 kali. Yandri juga tidak membawa persediaan makanan.

Namun, tim SAR gabungan terus melanjutkan pencarian. Selasa sekitar pukul 11.15 Yandri ditemukan selamat. Rizki menuturkan, Yandri ditemukan duduk bersandar di lembah tempatnya terjatuh.

"Alhamdulillah. Itu kalimat pertama yang dia ucapkan," kata Rizki.

(Baca juga: Pasca-erupsi Gunung Marapi, Delapan Pendaki Tersesat)

Yandri mengalami luka di sejumlah bagian tubuh, seperti lengan dan kaki. Terdapat darah beku di telinga dan kepala bagian belakang serta memar diperut. Tubuhnya berlumur abu.

Menurut Rizki, setelah memberi minum, membersihkan, dan mengganti baju Yandri, tim SAR mengevakuasi Yandri. Karena tidak ada tandu, anggota tim bergiliran menggendong Yandri. "Kebetulan regu saya bertugas menyisir posisi Yandri. Setelah tiba di lokasi yang lebih aman, penanganan hingga evakuasi Yandri selanjutnya dilakukan tim lain," kata Rizki.

Yandri tiba di pintu masuk Marapi, Rabu dini hari. Ia langsung dibawa ke rumah sakit.

Setelah kejadian tersebut, pihak keluarga memutuskan tidak mengizinkan lagi bocah itu mendaki.

"Kami sebenarnya sudah melarang dia pergi, apalagi ini bulan Ramadhan. Namun, dia bersikeras. Melihat apa yang menimpa dia dan dampak kepada keluarga, kami mungkin tidak akan mengizinkan dia mendaki gunung lagi," kata Budi Utomo.

Ada larangan

Kejadian yang menimpa Yandri dan 15 temannya semestinya tidak terjadi. Apalagi, sudah ada rekomendasi agar masyarakat tidak beraktivitas di dekat kawah Marapi.

Menurut petugas Pos Pengamatan Gunung Api Marapi, Hartanto Prawiro, sejak Marapi berstasus Waspada pada 3 Agustus 2011, mereka merekomendasikan agar tidak ada aktivitas, baik masyarakat, wisatawan, maupun pendaki, dalam radius 3 kilometer dari puncak Marapi.

Sebenarnya tidak ada permukiman warga dalam radius tersebut. Permukiman terdekat berada pada jarak 7 kilometer dari puncak Marapi. Meski tidak ada permukiman, kegiatan pendakian terus berjalan dan tidak terkendali.

Menurut Rahmat (20), petugas di Pos Pendakian Resmi Marapi di Koto Baru, Tanah Datar, setiap tahun, belasan ribu orang mendaki Marapi. Jumlah pendaki paling banyak pada peringatan 17 Agustus dan tahun baru. Pada momen tersebut, pendaki bisa mencapai 5.000 orang sampai 7.000 orang.

Petugas Koto Baru Rescue Adventure Craft Marapi, Jofri Andres, menuturkan, setelah tahun 2011, pendakian diawasi dengan ketat. Mereka memiliki tim yang berpatroli untuk mengawasi pendaki. Selain itu, mereka juga terus berkoordinasi dengan pihak Pos Pengamatan Gunung Api Marapi terkait aktivitas gunung. Dengan demikian, setiap ada situasi darurat bisa segera disikapi.

"Sebenarnya sudah ada ketentuan, misalnya area berkemah harus di lokasi aman, yakni lebih dari radius 3 kilometer. Kurang dari itu, termasuk ke Taman Edelweis, dilarang," katanya.

Taman Edelweis adalah padang di dekat puncak Marapi, tempat bunga edelweis tumbuh subur di antara batu cadas.

Menurut Jofri, banyak pendaki yang nekat. Meski sudah dilarang, ada saja yang ke area Taman Edelweis untuk berfoto atau memetik bunga. Kejadian yang menimpa Yandri dan teman-temannya diduga karena mereka nekat ke padang edelweis yang sebenarnya merupakan jalur erupsi.

Jofri menambahkan, penutupan pendakian sulit dilakukan. Tahun 1999, misalnya, setelah empat pendaki meninggal dan 12 orang lain hilang, pendakian ditutup setahun. Meski demikian, tetap ada yang nekat naik lewat jalur-jalur tikus.

"Harus diakui, kesadaran dan pengetahuan pendaki ke Marapi masih kurang. Kadang mereka hanya bermodal berani, tetapi tanpa pengetahuan tentang pendakian," kata Jofri. (Ismail Zakaria)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Juni 2017, di halaman 22 dengan judul "Menantang Maut di Puncak Marapi".

 

Kompas TV Pendaki Naas Gunung Marapi Ini Berhasil Dievakuasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com