Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Terjal Pretty Bangun 6 Taman Baca di Papua Barat, Ditentang Orangtua hingga Alami Kecelakaan

Kompas.com - 06/06/2017, 11:00 WIB
Rahmat Rahman Patty

Penulis

SORONG, KOMPAS.com - Keceriaan terpancar dari raut wajah belasan anak-anak yang berkumpul sore itu di Taman Baca Suprau di Distrik Maladom Mes, di pinggiran Kota Sorong, Papua Barat.

Dengan senyum yang khas, mereka menyambut kedatangan Pretty Christina Sumampouw, Koordinator Komunitas Baca, Buku Untuk Papua (BUP) Sorong, yang saat itu datang bersama Humas Gramedia, Azas Rifai dan dua anggota komunitas lainnya Adam dan Samuel.

“Kaka Pretty, kaka Pretty selamat datang,” sambut beberapa anak dengan penuh riang, Rabu (3/5/2017).

Kegembiraan membuat seisi ruangan menjadi riuh. Ada canda dan tawa, namun setelah itu anak-anak mulai bersalaman dengan Prety dan tamu yang datang.

Segera setelah itu, belasan anak-anak ini kembali melanjutkan aktivitas belajar dan membaca, dan sebagian lainnya mewarnai gambar. Beberapa anggota komunitas yang telah berada di taman baca itu sebelumnya juga mengajari anak-anak ini cara menulis dan memotifasi mereka untuk menjadi manusia yang berguna kelak.

Taman baca Saprau dibangun bersebelahan dengan kantor Kelurahan Saprau. Bangunannya semi permanen dan sangat sederhana. Ukurannya kecil hanya 4x6 meter dengan lantai dasar yang sudah licin.

Di bagian sisi kiri dan kanan bangunan itu ada ventilasi yang sengaja dibuat untuk keluar masuk udara. Meski begitu, saat siang hingga sore hari udara di dalam taman belajar itu tetap terasa panas.

Seperti sore itu, suasana memang masih sangat panas. Namun kondisi itu sama sekali tak menyurutkan niat belasan bocah ini untuk tetap membaca dan belajar.

“Paling panas, kaka, tapi kita sudah terbiasa di sini jadi tidak apa-apa, kaka,”ujar Tasya Mirin (12), siswa SMP Negeri 2 Sorong.

Tasya yang mulai aktif bergabung di Taman Baca Saprau sejak kelas 4 SD itu mengaku senang bisa belajar dan membaca di taman baca tersebut. Menurut dia, banyak pengetahuan yang didapatkannya dari tempat belajar tersebut.

“Senang sekali, karena kaka-kaka juga baik. Mereka ajar saya baca dan juga menyanyi dan bermain jadi kita senang,” ujarnya.

Ide taman baca   

Ide pendirian sejumlah taman baca di Sorong oleh dara berusia 24 tahun ini dimulai dari sebuah kegelisahan terhadap rendahnya minat baca masyarakat, khususnya anak-anak. Ditambah pula dengan sulitnya akses pendidikan untuk anak-anak yang tidak mampu di wilayah tersebut.

KOMPAS.com/Rahmat Rahman Patty Anak-anak di Taman Baca Saprau di Distrik Maladom Mes, di pinggiran Kota Sorong, Papua Barat.

Pada awal bulan April tahun 2013, Pretty dan kawan-kawannya lalu mulai membangun Taman Baca Saprau. Setelah itu perlahan tapi pasti, sejumlah taman baca lainnya didirikan hingga kini total ada enam taman baca.

“Pertama itu kami bangun di Saprau. Setelah itu, kami bentuk lagi taman baca lainnya. Namun yang paling aktif saat ini adalah Taman Baca Saprau dan Taman Baca Kuadas yang berada di Distrik Makbon,” katanya.

Menurut Pretty, keinginannya untuk membangun taman baca di Sorong juga tidak lepas dari peran Dayu Rifanto, inisiator Buku untuk Papua.

Semula, kata Pretty, dia membaca kicauan di akun Twitter Sahabat Papua tentang Papua. Saat itu, Dayu yang belum dikenalnya berencana membantu mengirimkan buku-buku ke tujuh kota di Papua.

“Ada tujuh kota yang akan dapat kiriman buku, tapi untuk Sorong tidak ada, padahal Sorong menjadi pintu masuk sejumlah kota di Papua. Saat itu, saya senang ada bantuan buku untuk Papua tapi saya juga gelisah karena tidak ada bantuan untuk Sorong. Dari situ saya mulai me-retweet kicauan Kak Dayu lalu saya mulai ngobrol dengan beliau, dan akhirnya akrab dan beliau ajak saya bergabung,” ungkap Pretty.

Pretty yang kala itu masih berstatus sebagai mahasiswa di  Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Viktory Sorong itu mengisahkan, setelah terlibat dengan Komunitas Buku untuk Papua, mulailah dia mengajak seorang temannya Naomi dan membahas rencana pendirian taman baca di Sorong, tepatnya di kampus UKIP, tempat Naomi bekerja.

Setelah itu, keduanya lalu mengajak seorang teman mereka bernama Yhoris Don Bosco untuk terlibat dalam rencana itu hingga mengajak sejumlah relawan lainnya untuk bergabung di komunitas Buku untuk Papua.

“Dari berdua, bertiga, kami ajak lagi teman-teman lain mulai yang sekampus, tetangga dan lainnya. Setelah itu, kami kampanye lewat media sosial. Kami juga menyumbang buku pribadi sambil menunggu kiriman buku dari Kak Dayu,” ujarnya.

Pak Mayor

Pretty menuturkan, setelah buku-buku mulai terkumpul, mulailah mereka merencanakan mendidikan Taman Baca Saprau. Mereka kemudian mendatangi rumah salah satu tokoh masyarakat di Saprau untuk mengemukakan niat mereka itu. Namun tak disangka niat mereka itu tidak direspons dengan baik.

“Saat kami datang ke rumahnya, tidak ada respons yang baik dari istrinya. Kami juga tidak dipersilakan masuk ke dalam rumah. Katanya Bapak tidak ada dan saat kami pergi, pintu rumahnya langsung ditutup dengan keras,” ujarnya.

Namun niat Pretty dan kawan-kawannya untuk mendirikan taman baca tidak surut dengan kejadian itu. Mereka kemudian mencari tempat lain yang ada di Saprau dan saat itulah mereka bertemu dengan salah satu Ketua RT setempat bernama Bernadus Mayor.

“Saat itu Pak Mayor sedang di teras kantor lurah. Setelah kami utarakan niat kami itu ternyata beliau sangat welcome sekali dan mendukung rencana kami,” ungkapnya.

Dari pertemuan itu, Pretty dan kawan-kawannya mulai mendatangi lingkungan tersebut dan bermain dengan anak-anak. Mereka juga bersosialisasi dengan masyarakat setempat tentang rencana mendirikan taman baca di kawasan itu.

“Jadi sekitar dua bulan itu kami ke sana bermain dengan anak-anak untuk mencuri hati mereka. Kami sampai memandikan mereka dan ternyata mereka senang, masyarakat juga mendukung, saat itu kami belum bawa buku ke sana,”ungkapnya.

KOMPAS.com/Rahmat Rahman Patty Anak-anak di Taman Baca Saprau di Distrik Maladom Mes, di pinggiran Kota Sorong, Papua Barat.

Menurut Pretty, setelah mendapat tempat di hati masyarakat setempat, mereka lalu mendirikan taman baca di kawasan itu. Teras kantor lurah pun dijadikan sebagai taman baca sementara. Selama beberapa bulan berjalan mereka kemudian menggalang dana melalui penjualan kaus dan PIN selanjutnya membangun taman baca semi permanen yang bersebelahan dengan kantor lurah.

“Kami berterima kasih sekali karena Pak Mayor juga mengizinkan tanah miliknya dibangun taman baca. Pokoknya dukungan masyarakat sangat tinggi. Ada juga yang menyumbang pasir dan semen saat kami bangun taman baca Saprau,” jelasnya.

Ditentang orangtua

Upaya Pretty untuk meningkatkan minat baca dan mencerdaskan anak-anak di Sorong tidaklah semudah yang dibayangkan. Dia mengaku, aktivitasnya dalam komunitas Buku untuk Papua juga sempat ditentang keras oleh orangtua dan keluargaya.

Bahkan menurut Pretty ayahnya sempat mengancam akan membakar sebagian buku-buku yang berada di rumahnya jika dia masih tetap terlibat dalam kegiatan tersebut.

“Awal merintis taman baca memang saya selalu pulang larut malam. Mungkin karena itu Bapak saya tidak setuju lalu meminta saya berhenti. Beliau sempat mengancam akan membakar buku-buku yang ada di rumah,” ungkapnya.

Pretty mengisahkan, saat itu ayahnya memberikan pilihan yang sangat sulit baginya yakni tetap kuliah sambil bekerja atau berhenti dari komunitas Buku untuk Papua. Ketegasan sikap ayahnya itu sempat membuatnya goyah saat itu.

Dia menyadari kesibukannya di kampus, bekerja dan terlibat di taman baca membuatnya selalu pulang larut malam. Hal itu menjadi salah satu alasan keluarga selalu khawatir dan melarangnya terlibat dalam komunitas Buku untuk Papua.

Namun, niatnya yang begitu kuat untuk bisa melihat anak-anak Papua bisa terus membaca membuatnya tetap kukuh dengan pendiriannya.

“Saat Ayah memberikan pilihan itu, saya sempat sempat goyah, tapi saya bertekad saya akan membuktikan saya bisa tetap kuliah bekerja dan memberikan waktu untuk mendidik anak-anak di taman baca,”ujarnya.

Pretty mengaku, sikapnya yang terus memilih terlibat dengan komunitas Buku untuk Papua membuat saudaranya juga menentang keras keputusannya itu. Sampai-sampai kedua orangtuanya sempat bertengkar gara-gara aktivitasnya di komunitas tersebut.

“Kedua orangtua saya pernah bertengkar gara-gara saya. Adik saya sampai bilang saya sudah gila. Memang saya sadari kalau sikap keras ayah saya itu karena mereka sayang kepada saya dan mereka khawatir karena saya anak perempuan,” ujarnya.

Dalam tekanan keluarga yang begitu kuat itu, Pretty tidak pernah patah semangat, dia tetap berusaha untuk meyakinkan orangtuanya bahwa keputusannya itu tidaklah salah. Tantangan yang dihadapinya itu dilalui dengan semangat dan tetap bersabar, hingga pada akhirnya keluarganya pun dapat menerima aktivitasnya di komunitas itu.

“Suatu saat saya bilang ke Bapak saya, 'Pak, teman-teman mau jadikan rumah ini sebagai basecamp, kami mau bikin seminar HIV/AIDS, juga mau bikin festival. Dari situ beliau mulai melihat saya ini ternyata serius, apalagi waktu itu acaranya masuk televisi dan koran,” tuturnya.

Menurut Pretty, keputusannya bertahan hingga saat ini untuk tetap mengajari dan memotivasi anak-anak untuk membaca bukanlah tanpa alasan. Baginya, terlibat dalam komunitas Buku untuk Papua merupakan sebuah tanggung jawab kemanusiaan demi mencerdaskan anak-anak Papua yang ada di Sorong.

Apalagi banyak anak-anak yang selama ini dibina datang dari keluarga kurang mampu yang tidak memiliki akses pendidikan yang baik.

“Kenapa saya ada di Buku untuk Papua? Ini karena tanggung jawab moral dan tanggung jawab kemanusiaan. Orangtua saya bukan asli Papua. Kulit saya putih, tidak gelap. Rambut saya tidak keriting, tetapi saya lahir lahir di Papua dan saya sangat mencintai Papua,” ungkapnya.

Sejauh ini, sudah ada enam taman baca yang didirikan Prety dan kawan-kawannya di Sorong, yakni Taman Baca Saprau, Kuadas, Rubah Dua Pohon, Akasia, Klayn dan Moi.

KOMPAS.com/Rahmat Rahman Patty Anak-anak di Taman Baca Kuadas di Distrik Marbon di Sorong, Papua Barat.

Alami kecelakaan

Setelah mendapat izin orangtua, perjuangan Pretty dan untuk menularkan virus membaca di Sorong juga tak mudah. Pretty pernah mengalami kecelakaan saat dia dan kawan-kawannya mengunjungi Taman Baca Kuadas di Distrik Marbon yang mereka dirikan.

Prety sendiri tidak ingat persis kapan kecelakaan itu terjadi, namun saat itu mereka menggunakan sepeda motor sambil berboncengan bersama sejumlah relawan lainnya.

“Saya pernah jatuh dengan motor hingga terluka saat kita pergi ke Kuadas,” ujarnya.

Perjalanan dari Kota Sorong ke Kuadas bukanlah mudah. Kompas.com yang ikut bersama Pretty dan kawan-kawannya ke Kuadas harus menempuh jalan berliku sepanjang kurang lebih 70 km yang sebagian kondisinya rusak parah.

“Ini sudah agak mendingan. Kalau waktu kita datang dulu itu kerusakan jalannya paling parah lagi,” tutur Adam, salah satu rekan Pretty yang saat itu menyetir mobil.

Adam yang mulai bergabung dengan komunitas Buku untuk Papua sejak setahun terakhir ini mengisahkan, mereka juga pernah menghadapi banjir saat akan berkunjung ke Kuadas beberapa bulan yang lalu.

Saat itu hujan yang terus mengguyur wilayah Sorong membuat jalanan menuju Kuadas tidak bisa dilewati dengan sepeda motor karena derasnya air di jalan yang hendak mereka lewati.

Tiba di Kuadas, Pretty dan kawan-kawan kemudian menemui pihak sekolah YPK Bukit Son, Saat itu, para siswa yang juga aktif di Taman Baca Kuadas ini sedang belajar.

Barulah setelah itu, mereka mengunjungi Taman Baca Kuadas di tepi pantai desa tersebut. Jarak taman baca berukuran 2x2 meter itu hanya sekitar 30 meter dari sekolah.

Berselang beberapa menit kemudian, puluhan siswa sekolah mendatangi taman baca dan ikut bermain sambil membaca.

Menurut Pretty, metode belajar dan membaca yang mereka ajarkan kepada para anak-anak binaan mereka selalu dilakukan dengan cara yang berbeda.

“Kadang anak-anak ini belajar dan membaca di taman baca tetapi juga kadang kita mengajak mereka ke tempat terbuka seperti di tepi pantai,” ujarnya.

Pretty mengaku, selama terlibat di komunitas Buku untuk Papua, dia dan teman-temannya  tidak mau memposisikan diri sebagai pengajar namun sebagai sahabat dan kakak bagi anak-anak binaan mereka itu.

Dia juga mengaku, dari proses interaksi yang dilakukan selama ini, dia dan teman-temannya juga banyak belajar soal ketulusan dan pelajaran hidup yang sesungguhnya, menjadi manusia bukan sekedar hidup bagi diri sendiri namun harus bermanfaat bagi orang lain.

“Kami belajar dari ketulusan anak-anak ini, sebenarnya tujuan hidup itu untuk apa kalau tidak bisa berbagi dan bermanfaat bagi orang lain,” ungkapnya.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com