Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masjid Subulussalam, Jejak Kesultanan Demak Bintoro di Lereng Gunung Ungaran

Kompas.com - 29/05/2017, 07:04 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir

Penulis

Kompas TV Masjid Tuha Indrapuri Dulunya Merupakan Candi

 

Maka diutuslah keduanya untuk menyebarkan agama Islam di tengah pulau Jawa. Jin Bun adalah nama kecil dari Raden Patah dan Raden Bambang Kartonadi adalah nama lain dari Syekh Hasan Munadi.

"Sunan Ampel berpesan kepada Raden Patah, jika engkau menjumpai tempat bernama Glagahwangi (Demak), maka berhentilah dan buatlah pesantren di sana. Maka sesampai di daerah Demak, berhentilah Raden Patah dan membuat pesantren," ucap Kiai Ari.

(Baca juga: Masjid di Pulau Penyengat, Konon Dibangun dengan Bahan Putih Telur)

Sedangkan Bambang Kartonadi tetap melanjutkan perjalanan hingga sampai di lereng Gunung Ungaran. Ia memilih menetap di sebuah tempat yang kemudian ia beri nama Nyatnyono untuk menyebarkan ajaran Islam.

Saat itu masyarakat di wilayah selatan Semarang ini hidup dengan kepercayaan animisme yang kental.

Saat Glagahwangi bertumbuh menjadi sebuah Kesultanan, Hasan Munadi pernah tercatat sebagai salah seorang punggawa berpangkat Tumenggung yang bertugas menjaga kewibawaan kesultanan Demak dari rong-rongan kelompok yang hendak membuat onar.

Namun pada akhirnya, Hasan Munadi lebih memilih menjadi penyiar agama Islam di lereng Gunung Ungaran sampai ia wafat. Dalam menjalani syiar Islam ini ia dibantu anaknya bernama Syekh Hasan Dipuro.

Kini, makam ayah dan putranya ini selalu ramai dikunjungi peziarah, dari Semarang hingga luar provinsi dan luar Jawa. "Paling banyak dari Jawa Timur, disusul Jawa Barat. Tiap minggunya bisa berbis-bis yang datang kemari," ujarnya.

Cerita mengenai Syekh Hasan Munadi dan Masjid Subulussalam ini ia peroleh dari pitutur secara turun temurun dari orangtua KH Hasan Asy'ari yang merupakan keturunan Hasan Munadi.

Sekarang para anak keturunan Hasan Munadi diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk menjadi pemangku Masjid Subulussalam dan kompleks makam Syekh Hasan Munadi.

(Baca juga: Masjid Terbesar se-Rest Area di Indonesia Resmi Beroperasi)

 

Selain masjid, peninggalan Syekh Hasan Munadi yang masih diwarisi hingga sekarang adalah sebuah madrasah diniyah atau tempat pembelajaran agama dan sendang kalimah toyyibah.

Sendang atau mata air yang tak pernah kering airnya ini dipercaya bisa menyembuhkan penyakit dan mendatangkan kebaikan bagi yang meminumnya. Setiap menjelang bulan Ramadhan, sendang ini ramai dikunjungi masyarakat yang hendak melakukan tradisi padusan.

"Puncak peziarah di Makam Mbah Hasan Munadi dan Mbah Hasan Dipuro ini adalah pada malam 21 Ramadhan atau selikuran. Puluhan ribu orang datang untuk menghadiri haul (peringatan hari wafat) yang diisi dengan mujahadah, sema'an quran dan pengajian akbar," pungkasnya.

Berkah dari keberadaan kedua tokoh penyebar agama Islam ini secara tidak langsung menggerakkan roda perekonomian bagi warga Desa Nyatnyono.

Wisata religi desa ini mendatangkan banyak peziarah, sehingga para tukang ojek, supir angkutan, warung makan, toko oleh-oleh, penjual souvenir dan tempat penginapan beroleh berkah dari keberadaan makam Syekh Hasan Munadi ini.

"Dari semasa hidupnya sampai wafatnya, seorang wali terbukti memberikan berkah bagi masyarakatnya," tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com