Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aiman Witjaksono
Jurnalis

Jurnalis

10 Tahun Bui akibat Cacing Ajaib

Kompas.com - 22/05/2017, 07:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

"Bukan soal hewannya, tapi belakangan ada kejanggalan dalam kasusnya."

Ini adalah penelusuran saya soal kasus cacing ajaib. Kenapa saya sebut cacing ajaib? Ya, karena jangankan soal cacingnya, mencari informasi valid terkait cacing ini saya pun sulit. Termasuk untuk meminta keterangan ahli soal ini.

Sebelum saya cerita soal kasus ini, saya mau cerita dulu soal cacing sonari yang ajaib. Bahkan karena saking ajaibnya, seorang profesor ahli hewan alias Ahli Zoologi di sebuah perguruan tinggi terkenal di Indonesia enggan menjelaskan keistimewaan cacing jenis ini.

Alasannya, nanti takut heboh. Wah, makin penasaran pula saya dibuatnya.

Pencarian cacing ajaib

Saya pun menelusurinya di dunia maya dan menemukan beberapa artikel dari jurnal internasional yang membahas soal cacing tanah termasuk cacing sonari ini.

Alhasil sejumlah khasiat ditemukan, diantaranya adalah bisa menurunkan panas (antipiretik), meredakan alergi dan asthma (antihistamin), meredakan batuk, dan membunuh mikroba (antibiotik).

Dan satu kata, semuanya bersifat alami, bukan artifisial alias buatan dari bahan-bahan kimia.

Nah, tak berlebihan bukan, jika saya sebut sebagai cacing ajaib? Bahkan, saat ini sedang dilakukan penelitian, sang cacing ini bisa menyerap uranium, unsur kimia yang merupakan bahan bakar radioaktif Nuklir. Luar biasa.

Kasus Didin

Tak pernah saya mendapatkan informasi soal cacing ini kalau saya tidak mendapatkan informasi dari kasusnya. Adalah Didin, seorang penjual jagung bakar di kawasan Cipanas, Puncak, Jawa Barat, yang tersandung masalah pidana terkait cacing ini.

Didin kini meringkuk di tahanan Polres Cianjur sebagai tahanan titipan. Kasusnya ditangani oleh Polisi Hutan dari Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.

Dua bulan sudah ia ditahan sebagai tersangka perusak 35 hektar lahan di Gunung Gede-Pangrango karena mengambil cacing sonari di tumbuhan Kadaka yang menempel di pohon-pohon kawasan pegunungan itu. Ia terancam hukuman hingga 10 tahun. Baca: Gara-gara Mencari Cacing, Didin Ditahan dan Terancam 10 Tahun Penjara

Mungkin bagi anda yang mendengar biasa saja. Tapi, tahukah Anda, berapa luas lahan dengan angka 35 Hektar ini?

Jika luas kawasan silang Monas, Jakarta, adalah 80 Hektar, maka lahan yang dikatakan Polisi Hutan dirusak Didin adalah hampir setengah dari Kawasan Lapangan Silang Monas.

Pertanyaannya, mungkinkah Didin merusak dengan menebang pohon seluas setengah kawasan Monas seorang diri hanya selama 2 pekan? Sulit untuk dibayangkan.

Tapi yang perlu digaris bawahi, setidaknya, Didin adalah tersangka satu-satunya sampai saat ini dalam kasus perusakan lahan di dekat puncak Gunung Pangrango.

Apa yang terjadi?

Apa yang yang sesungguhnya terjadi tidak ada yang tahu sebelum semuanya diputus di tingkat Pengadilan.

Saya mencoba masuk ke dalam hutan di lereng Gunung Gede-Pangrango. Saya berjalan lebih kurang satu jam mendaki gunung. Di tengah hutan saya menemukan tumbuhan Kadaka alias Pakis Sarang Burung.

Saya pun meminta kepada teman dari yayasan Pecinta Alam Surya Kadaka Mandiri untuk melihat adakah cacing sonari di dalamnya, tanpa merusak tumbuhan itu.

Dan, apa yang saya dapatkan?

Cacing besar itu menyeruak di antara lipatan tumbuhan Kadaka. Ukurannnya, panjang 20 centimeter dengan diamter sekitar 2 centimeter. Cacing terbesar yang pernah saya lihat seumur hidup.

Saya mendapat kesimpulan, tidak perlu naik sampai puncak gunung untuk mendapatkan cacing sonari karena di sekeliling saya banyak sekali terdapat tumbuhan Kadaka.

Lalu pertanyaanya, kenapa Didin ditangkap karena mencari cacing di Puncak Gunung?

Semua ini saya tanyakan ke Kepala Polisi Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Adison. Ia meyakini dari hasil penyelidikan timnya, Didin telah merusak lahan seluas 35 hektar.

Lalu pertanyaan saya, bagaimana mungkin? Adison menjawab, Didin melakukannya dengan bantuan anak buah sebanyak 40 orang.

Muncul dua pertanyaan lain saya. Pertama, mengapa setelah dua bulan tersangkanya hanya tunggal, Didin seorang. Terlebih saat saya berkunjung ke rumah Didin yang hanya berjarak kurang dari 1 km dari markas Polisi Hutan, sangat memprihatinkan.

Rumahnya yang terlihat amat sederhana itu ternyata dipinjamkan dari salah satu kerabatnya. Untuk mengontrak rumah saja, Didin tak mampu.

Lalu, pertanyaan kedua saya, bagaimana ia bisa memiliki anak buah sebanyak 40 orang? Hal yang sulit dibayangkan.

Proses hukum harus dihormati. Keputusan akhir ada di meja hijau hakim pengadilan. Polisi Hutan mengakui punya bukti-bukti yang valid dan kuat.

Kita tunggu bersama di pengadilan meski ada yang tak bisa menunggu lama sesungguhnya, istri Didin!

Ya, ia tak bisa menunggu lama. Bukan karena hendak melepas rindu, tetapi karena kehilangan sosok tulang punggung pencari nafkah keluarga. Sudah dua bulan Didin tak lagi mengipasi jagung bakar di sekitaran Cipanas, Jawa Barat.

Bagaimana lengkapnya dari kisah ini? Simak AIMAN, Senin pukul 8 malam di KompasTV. EKSKLUSIF!

Salam.

Kompas TV Ambil Cacing, Petani Ini Terancam Dipenjara 10 Tahun
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com