Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taman Baca, Cara Kartono Bangun Mimpi Anak-anak di Eks Lokalisasi

Kompas.com - 19/05/2017, 07:49 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

Walaupun sudah ada sejak tahun 2007, Kartono masih tetap menyewa ruangan untuk taman bacanya. Jika awalnya hanya meyewa satu kamar, kini dia menyewa 3 ruangan besar bagian depan untuk kegiatan anak-anak.

"Untungnya pemiliknya baik jadi diperbolehkan menyewa ruangannya. Sejak penutupan lokalisasi, wisma-wisma di sini hanya diperbolehkan menyewakan kamar kepada pasangan suami istri yang sah dan bisa menunjukkan surat nikah. Kalau saya dan istri menyewa kamar di bagian belakang dengan biaya 400 ribu perbulan," kata laki-laki kelahiran Banyuwangi 29 Agustus 1963 tersebut.

Sebelum membuka taman baca, Kartono mengaku jika pernah menjadi mucikari yang sangat disegani di kawasan Putat Jaya selama 6 tahun. Awalnya, Kartono muda sempat bekerja di Dinas Pengairan Banyuwangi pada tahun 1981.

Namun dia memilih pindah bekerja di sebuah perusahaan di Surabaya untuk mendapatkan gaji yang lebih besar. Kartono hidup berkecukupan dan mulai berkenalan dengan dunia prostitusi. Dia kemudian menyewa sebuah wisma untuk dijadikan cafe dan karaoke.

"Kafe saya sepi karena tidak menyediakan cewek. Akhirnya saya cari-cari dan dapat jaringan untuk mendapatkan perempuan yang dipekerjakan di kafe milik saya. Waktu itu saya nggak pernah namanya nggak pernah pegang uang. Isinya cuma senang senang saja," kenangnya.

(Baca juga: Kisah Fauzi dari Jual Jamu Sambil Bawa Buku hingga Bangun Rumah Baca)

Pada tahun 2004, Kartono mulai berkeinginan untuk berhenti menjadi mucikari setelah salah satu tetangganya yang berusia 21 tahun meninggal karena HIV/AIDS. Dia kemudian memutuskan bergabung sebagai relawan pendampingan ODHA tanpa digaji karena masih mendapatkan penghasilan dari kafe yang dikelolanya.

"Walaupun banyak uang, saya tidak menemukan ketenangan batin. Saat menjadi relawan itulah semakin banyak pengalaman dan saya menyadari bahwa selama ini yang saya lakukan banyak melanggar hukum. Mulai trafficking, kekerasan pada perempuan dan anak. Materi-materi dari pelatihan yang saya ikuti habis saya baca semuanya. Akhirnya pikiran saya semakin terbuka. Apalagi berbarengan dengan kondisi rumah tangga yang berantakan," ungkapnya.

Untuk keluar dari dunia prostitusi, Kartono memutuskan berkeliling menemui kiai-kiai yang ada di wilayah Jawa Timur untuk berkonsultasi dan juga untuk mencari ketenangan batin.

Undangan sebagai pembicara terkait kasus perdagangan orang pun sering dia terima karena dia aktif menyuarakan kasus trafficking di lokalisasi.

"Saya tahu  dan saya berani berbicara karena saya orang teribat di dalamnya. Anggap saja saya ini pernah jadi mafianya. Saya semakin banyak membaca hingga akhirnya saya memutuskan berhenti total menjadi mucikari," paparnya.

Dia mengakui kegemarannya membaca termasuk telat, yaitu sejak 15 tahun terakhir. Buku yang dia gemari adalah buku-buku motivasi.

Saat membuka taman baca untuk pertama kali, lokalisasi Jarak dolly masih aktif. Kamar yang dia sewa menjadi tempat anak-anak untuk bermain dan belajar karena anak-anak tidak menemukan tempat yang nyaman untuk pulang.

"Bayangkan saja di rumahnya ada yang dijadikan wisma sehingga banyak orang asing berseliweran. Banyak orang mabuk jadi mereka bisa dikatakan tidak bisa hidup tenang akhirnya ya main di taman baca. Ada yang bilang katanya bapak sama ibunya bertengkar. Kasihan mereka akhirnya ya biar saja main dan istrirahat di rumah baca," kata Kartono.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com