MEULABOH, KOMPAS.com - Enam nelayan tradisional di Kabupaten Aceh Barat yang terjerat kasus penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan dituntut tiga bulan penjara. Selain itu, mereka dituntut denda Rp 1 juta atau subsider satu bulan kurungan.
“Sidang lanjutan enam klien kami tadi diketuai Said Hasan dengan hakim anggota M Tahir dan M Al-Qudri serta dihadiri Jaksa Maiman Limbong selaku JPU (jaksa penuntut umum)”, ujar Herman, kuasa hukum terdakwa dari LBH Banda Aceh, Pos Meulaboh kepada wartawan, Rabu (17/05/17).
Herman mengatakan, dalam tuntutannya, JPU menyatakan enam terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana memiliki, menguasai, membawa dan atau menggunakan alat bukti penangkap ikan tidak ramah lingkungan.
(Baca juga: Kesal Sidang Ditunda, Nelayan Lempar Telur ke Kantor Kejaksaan)
Sebab, alat tersebut bisa mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di laut di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).
"Sebagaimana diatur dalam pasal 85 UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan," imbuhnya.
Dalam sidang selanjutnya, aku Herman, pihaknya akan melakukan pembelaan (pledoi). Karena berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, keenam terdakwa tidak pernah mendapatkan pemahaman yang utuh terkait penggunaan alat tangkap yang dilarang.
(Baca juga: Nelayan Kecil Disebut Bersyukur Adanya Larangan Cantrang)
Herman menilai ironis. Sebab, keenam terdakwa merupakan nelayan kecil dan mayoritas nuruh nelayan yang hanya menjadi pawang/nahkoda, bukan pemilik boat. Namun mereka harus dijerat dengan pidana.