Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita dari Komunitas Hikayat Tanah Hitu, Membaca agar Cerdas dan Bisa Hargai Perbedaan

Kompas.com - 17/05/2017, 08:00 WIB
Rahmat Rahman Patty

Penulis

Metode pengajaran yang diberikan pun berbeda dengan yang di dapat para siswa di sekolahnya masing-masing. Di komunitas Hikayat Tanah Hitu, para bocah diajari bahasa Inggris dengan cara yang berbeda dan lebih rileks lagi sepert tebak-tebakan hingga bernyanyi.

“Dengan cara seperti itu anak-anak tidak jenuh. Kami juga selalu belajar di suasana terbuka, di pinggir pantai tidak hanya di basecamp agar mudah diserap oleh anak-anak,” katanya.

Anak-anak yang biasanya mengikuti kelas bahasa inggris tidak hanya siswa SD namun juga pelajar SMP. Biasanya kelas bahasa Inggris dibuka bersamaan dengan pembukaan lapak baca saat hari Sabtu dan Minggu. Namun terkadang banyak anak yang biasanya langsung datang sendiri ke rumah baca Barakate untuk meminta diajari.

“Jadwal kami itu biasanya hari Minggu, selalu disesuaikan dengan waktu luang. Namun kadang anak-anak selalu datang ke basecamp untuk minta diajari juga di sana,” katanya.

Bagi Cilun terlibat dalam komunitas Hikayat Tanah Hitu dan bisa mengambil bagian untuk terus menyemangati anak-anak agar dapat meningkatkan minat baca dan belajar bahasa Inggris merupakan sebuah tanggung jawab moril baginya.

“Ini sebuah bentuk kesadaran akan tanggung jawab terhadap anak-anak di sini. Saya merasa senang sekali karena bisa bergabung dengan kawan-kawan komunitas Hikayat Tanah Hitu untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat di sini,” ungkapnya.

Selain membuka kelas bahasa Inggris, Komunitas Hikayat Tanah Hitu juga berencana membuka kelas khusus bahasa Hitu bagi anak-anak di desa tersebut. Keinginan membuka kelas khusus bahasa Hitu ini bukanlah tanpa alasan.

Menurut Halid Pellu, keinginan membuka kelas khusus bahasa Hitu muncul dari sebuah kegelisahan besar bahwa kini anak-anak di Desa Hitu Mesing dan Hitu Lama tidak lagi mengetahui dan bisa menggunakan bahasa Hitu dalam interaksi keseharian mereka. Bahkan anak-anak muda di dua desa itu juga sudah tidak bisa lagi menggunakan bahasa daerahnya.

“Kami sedang mengupayakan agar ada juga kelas bahasa Hitu bagi anak-anak. Ini karena bahasa Hitu saat ini sudah tidak lagi digunakan oleh anak-anak. Penutur bahasa Hitu juga telah berkurang dan tidak lebih 100 orang saja saat ini,” ujarnya.

Menurut dia, untuk langkah pertama, pihaknya akan mencari seseorang yang menguasai bahasa Hitu dengan benar untuk mengajari anak-anak di desa tersebut.

”Kami masih mencari orang yang tepat, tapi rencana kami harus ada kelas khusus untuk bahasa Hitu,” ungkapnya.

Baginya, anggota komunitas juga akan siap untuk ikut dalam kelas tersebut dan rumah baca Barakate akan selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin ikut dalam kelas tersebut.

Rumah baca Barakate sendiri saat ini belumlah memiliki tempat sendiri. Rumah baca ini masih berada di rumah orang tua Halid, tepatnya di bagian lantai dua rumah tersebut.

Banyak orang menyebutnya Leiden karena rumah tersebut berdiri tepat di atas reruntuhan Benteng Leiden. Ruangan di rumah yang digunakan untuk rumah baca pun terbilang kecil hanya berukuran 4x4 meter.

Meski begitu, ruangan yang dijadikan sebagai rumah baca itu tampak terlihat rapi, ada meja dan kursi, ada rak dari kayu sebagai tempat menaruh berbagai jenis buku bacaan, dan ada juga satu buah papan white board yang terpampang di ruangan tersebut.

Pemilik rumah juga sangat terbuka dengan siapa pun yang ingin datang untuk membaca dan berdiskusi ke rumah baca itu.

”Orangtua sangat welcome, beliau sangat mendukung untuk hal-hal positif jadi tidak masalah. Kata beliau asal jangan untuk hal yang negatif,” ujarnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com