Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gula Semut Asal Kulon Progo Diminati hingga Amerika Serikat dan Kanada

Kompas.com - 05/05/2017, 08:39 WIB
Kontributor Yogyakarta, Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Jam dinding di rumah Biyartono (56) menunjukkan pukul 14.30 WIB. Namun warga RT 10/5 Dusun Sekendel, Desa Hargo Tirto, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, itu masih terlihat sibuk di saat pegawai kantoran bersiap-siap pulang ke rumah setelah bekerja sejak pagi.

Bukan tanpa alasan, pria berkumis tebal itu tengah menunggu oven yang sedang menyala di rumahnya, Kamis (4/5/2017).

Tiga oven berukuran raksasa miliknya itu sedang memanggang bahan pangan olahan nira kelapa. Belakangan diketahui jika bahan pangan olahan itu menjadi salah satu ikon Kabupaten Kulon Progo belakangan ini.

Ya, Biyartono merupakan satu dari 54 perajin gula semut di Dusun Sekendel.

Terdengar unik. Namun, gula semut bukan berarti gula yang dikerubungi semut melainkan gula pasir yang berbahan dasar nira kelapa. Warnanya yang kecoklatan membedakannya dengan gula pasir pada umumnya.

"Usaha ini sudah berlangsung 2008. Kenapa dinamakan gula semut, karena sepintas memang seperti semut," kata Biyartono ketika berbincang dengan Kompas.com di kediamannya.

Tak hanya bahan yang membedakan gula pasir dengan gula semut, cara pembuatannya juga berbeda. Pembuatan gula semut dilakukan secara tradisional, yakni dikerjakan sejumlah warga Dusun Sekendal di rumahnya masing-masing.

"Cara pembuatannya paling lama itu delapan jam. Mulai dari mengolah niranya sampai dimasukkan ke dalam oven," kata Biyartono.

(Baca juga: Porang Madiun Menjadi Buruan Pengusaha Jepang dan China)

Dia mengatakan, perajin gula semut di Desa Hargo Tirto tak hanya di dusunnya saja. Menurutnya, di setiap dusun yang ada di Desa Hargo Tirto terdapat perajin gula semut yang secara keseluruhan jumlahnya mencapai 800 perajin.

"Untuk dusun kami saja, setiap harinya bisa 1 ton. Kalau ditotal satu desa, gula semut yang diproduksi bisa sampai 7 ton," kata pria yang juga menjadi pengepul gula semut itu.

Pembuatan gula semut di Desa Hargo Tirto memang terbilang baru. Hal itu berawal dari kedatangan LSM pada sembilan tahun yang lalu untuk memberikan penyuluhan soal pembuatan gula jawa. Sebab, mayoritas warga di desa memang merupakan perajin gula merah atau yang kerap disebut gula Jawa.

"Dari dulu nenek moyang kami, kebanyakan warga di sini menjadi perajin gula jawa. Karena di wilayah kami ini tidak ada sawah. Jadi rata-rata menjadi penyadap nira yang kemudian dibuat gula jawa," kata Biyartono.

Dia menuturkan, harga gula jawa yang rendah membuat warga desa meminta penyuluh untuk bisa mengembangkan usaha mereka. Harapannya, hasil nira kelapa yang mereka dapatkan bisa diolah menjadi bahan pangan yang nilainya lebih mahal ketimbang gula jawa.

"Waktu itu gula jawa harganya Rp 4.000 per kilogramnya, sementara beras satu kilogramnya Rp 6.000. Setelah dipikirkan bersama (LSM) ada ide membuat gula semut yang nilainya bisa sampai Rp 12.000. Jadi beras bisa terbeli, tapi masih ada sisa untuk yang lain," ujar Biyartono.

Biyartono mengatakan, geliat usaha gula semut ternyata tak langsung diminati warga. Ia mengaku, warga masih membutuhkan proses untuk bisa menjalani usaha gula semut tersebut.

Dengan berbagai upaya dan pendampingan dari pemerintah dan akademsi, akhirnya usaha tersebut membuahkan hasil.

"Alhamdulillah sekarang dijual sampai luar negeri, Amerika, Afrika, Kanada, Jerman, dan Korea. Di luar negeri, gula semut ini menjadi pengganti gula pasir dalam memasak dan sebagainya," ujar Biyartono.

Dia mengatakan, gula semut yang dihargai Rp 15.000 per kilogramnya itu disebut-sebut memiliki kadar gula yang lebih rendah ketimbang gula pasar. Alasan itu, kata dia, yang membuat warga negara asing sangat menyukai gula semut ketimbang gula pasir.

"Mungkin karena proses pengolahan (memasak) tidak sekali sehingga kadar gulanya banyak yang menguap. Dari awal nira dimasak sampai menggumpal. Kemudian digerus dengan tempurung. Setelah jadi buliran dimasukan ke oven sampai kering," ucap Biyartono.

(Baca juga: Marsini, dari Buruh Tani Jadi Pengusaha Belalang Goreng Beromzet Rp 3,6 Juta Sehari)

Selama memproduksi gula semut, Biyartono mengaku tak ada kendala. Kebutuhan ekspor sendiri, kata dia, perajin masih bisa mencukupi sehingga tak sampai terjadi kekurangan. Namun diakuinya, jika belum semua perajin gula semut memiliki peralatan yang memadai seperti oven.

"Tapi yang jelas dampak sudah bisa dirasakan, anak sekolah bisa sampai SMA. Bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bisa bangun rumah yang dulunya dinding bambu jadi dinding bata," kata Biyartono.

 

Kompas TV Kondisi gedung SMP 3 Mazo, Nias Selatan, rusak parah sejak dilanda gempa berkekuatan 8,7 skala ritcher 12 tahun lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com