Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang Menuju Kembalinya Hutan Kita...

Kompas.com - 23/03/2017, 17:45 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

KOMPAS.com - Senyum mengembang menghiasi wajah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (Walhi Sumut) Dana Tarigan.

Dia sangat senang karena Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUP HKM) akhirnya diberikan kepada Kelompok Tani dan Nelayan Lestari Mangrove seluas 410 hektar di Kabupaten Langkat yang selama ini didampingi lembaganya.

Dana menceritakan, dalam keputusan bernomor SK 987/Menlhk-PSKL/PSL.0/3/2017 yang ditetapkan pada 9 Maret 2017 di Jakarta dinyatakan, areal HKM terdiri dari kawasan lindung seluas 50 hektar, kawasan produksi tetap seluas 360 hektar di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Berandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Walhi Sumut bersama dengan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Kiara dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mendampingi masyarakat untuk mendapatkan wilayah kelola rakyat dalam skema perhutanan desa.

"Ini kawasan penyangga kehidupan masyarakat tapi dikuasai dan dirusak perusahaan. Masyarakat yang menolak kehadiran perusahaan dikriminalisasi dan penjarakan," kata Dana, Kamis (23/3/2017).

Harapannya semua daerah mencontoh keberhasilan ini dan proses mendapatkannya dipercepat sesuai instruksi Presiden RI Joko Widodo lewat program perhutanan sosial.

Namun dia juga khawatir, ada pihak-pihak lain seperti perusahaan swasta perkebunan yang ingin menguasai hutan dengan modus bekerja sama dengan masyarakat lokal yang tak mengerti apa-apa.

"Kongkretnya sih, masyarakat yang menguasai dan mengelola hutannya. Semua korporasi yang masih beroperasi di lokasi HKM harus segera dihentikan, tidak boleh berizin lagi. Kalau aktivitas mereka sudah merusak hutan, mereka mesti merehabilitasinya melalui masyarakat yang mendapat izin mengelola HKM," ucap Dana.

Ke depannya, lanjut dia, kawasan hutan kemasyarakatan atau hutan negara yang dikelola masyarakat itu akan dijadikan lokasi ekowisata bahari yang pro iklim menggunakan produk-produk ramah lingkungan dan listrik dari energi matahari dan angin.

"Kami sedang berdayakan semua potensi alam untuk menghasilkan listrik dari energi terbarukan, kami akan jadikan proyek percontohan yang berhasil," ungkapnya.

Tajudin Hasibuan alias Sangkot, Ketua DPD KNTI Langkat mengatakan, hak mengelola hutan tersebut sangat penting bagi warga nelayan tradisional di Kecamatan Babalan, Berandan Barat, dan Sei Lepan.

Pasalnya, sekitar 4.500 orang setiap harinya menggunakan jalur ini untuk berbagai aktivitas, mulai dari melaut, transportasi, hingga kawasan mangrove yang menjadi lokasi nelayan menangkap ikan.

"Sekarang, tinggal kelompok masyarakat berinisiatif melakukan kerja pariwisata secara berkelanjutan," ujar Sangkot.

Dia menjelaskan, kawasan ini berada di register 8/l seluasnya 2.400 hektare dari total 35.000 hektar ekosistem mangrove di Langkat. Pada 1990-an, di sini dikembangkan budidaya udang dengan model pertambakan secara intensif.

Namun setelah mendapat keuntungan besar, pada 1995 sampai 1998 para pemilik tambak-tambak itu bangkrut akibat virus yang ditimbulkan zat kimia dari pakan. Pada 1999, muncul izin yang membabat hutan mangrove di Langkat.

Para pelaku mendapat izin 25.000 tapi beroperasi hampir di seluruh Kabupaten Langkat. Bahkan sampai membentuk tiga koperasi sebagai underbow untuk membabat hutan bakau. Akibatnya terjadi kerusakan massif secara ekologi dan ekonomi.

Masyarakat yang resah langsung melakukan perlawanan sampai berujung pada pencabutan hak pengelolaan hutan (HPH) pada tahun 2006.

Pasca-pencabutan izin ini malah terjadi perebutan lahan kosong dan meng konversinya menjadi kelapa sawit menggunakan alat berat yang dimotori salah satu koperasi yang didirikan perusahaan sebelumnya.

Tepat pada tahun 2010, ketika penyampaian aspirasi ke berbagai instansi di kabupaten dan provinsi tidak membuahkan hasil signifikan, akhirnya masyarakat pesisir, bersama KNTI, Kiara, Walhi Sumut, dan LBH Medan sepakat melakukan konfrontasi langsung.

"Kami melakukan rehabilitasi besar-besaran. Kelompok ibu-ibu memproduksi buah pedada dan kerupuk, inilah lokasi IUP HKM tersebut. Nantinya kami akan mendirikan ekowisata bahari yang melibatkan masyarakat," ujar Sangkot.

Bicara ekowisata, lanjut dia, maka harus melindungi alam, pesisir, mangrove, dan menjadikan masyarakat lebih sejahtera. Lalu dilakukanlah budidaya udang vaname dengan pengorekan secara tradisional yakni sedalam 80 cm dan pembenihan kepiting kelapa.

"Semoga bisa memenuhi kebutuhan benih di Langkat," pungkas dia.

10 tahun berjuang

Warga tujuh desa di Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, juga bisa tertawa kini. Penyebabnya adalah masyarakat Desa Sungaitohor, Sungaitohor Barat, Nipah Sendanu, Sendanu Dahrul Iksan, Tanjungsari, Lukun dan Kepaubaru, berhasil merebut wilayah kelola hutan desanya seluas 10.390 hektar.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyerahkan langsung Surat Keputusan Hutan Desa kepada tujuh kepala desa di Medan pada 17 Maret 2017.

"Paling tidak, ini keberpihakan kecil negara kepada rakyat yang konsisten mempertahankan sumber kehidupannya dengan arif dan bijak, berdasarkan tradisi lokalnya," kata Kepala Desa Lukun, Lukman, yang ditemui di Medan, Kamis (23/3/2017).

Dulu, areal hutan desa mereka adalah ekosistem hutan rawa gambut yang ditanami sagu, kopi, kelapa dan karet. Pohon-pohon inilah sumber penghasilan utama dan menjadi ciri khas desa mereka.

SK Menteri Kehutanan Nomor: 217/Menhut-II/2007 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri kepada PT Lestari Unggul Makmur (PT LUM) pada 31 Mei 2007 seluas 10.390 hektar, hilanglah mata pencarian warga.

Dari mulai mendengar kabar diterbitkannya izin, sosialisasi oleh korporasi yang terafiliasi oleh April Group pada 2008 sampai beraktivitas pada 2009 secara konsisten, seluruh masyarakat melakukan penolakan. Bahkan sempat aktivitas land clearing dan pembangunan kanal besar PT LUM berhenti.

"Mulai dari Sungai Tohor, menyebar ke desa-desa yang masuk konsesi PT LUM di Kecamatan Tebingtinggi, sampai desa-desa yang tidak masuk konsesi melakukan perlawanan. Menolak kehadiran PT LUM," kata Lukman.

Melihat konsistensi warga tujuh desa mempertahankan wilayah kelola dan sumber kehidupannya, konsolidasi dan perluasan dukungan terbangun, Walhi Riau turut membantu perjuangan rakyat ini.

Puncaknya pada tahun 2014, Walhi bersama beberapa lembaga lain dan Abdul Manan selaku tokoh masyarakat Sungai Tohor membuat petisi online meminta Presiden Indonesia Joko Widodo blusukan ke Sungai Tohor.

Dalam beberapa minggu, dukungan melalui petisi itu menembus angka 20.000 suara.

"Kami tunjukkan bahwa kehadiran investor malah merusak lingkungan, menghilangkan kearifan lokal. Petisi itu membawa Bapak Presiden datang ke Sungai Tohor. Saat itu, Presiden tidak hanya berkomitmen melawan kebakaran hutan dan gambut, juga akan mengkaji ulang izin PT LUM untuk kepentingan masyarakat," tambah Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau.

Pada Juni 2015 atau enam bulan kemudian, lanjut Riko, masyarakat tujuh desa menagih janji dengan melaksanakan Festival Gerakan Tagih Janji Jokowi. Alasannya, janji Presiden penting untuk selalu diingatkan supaya pemerintah serius menegakkan hukum kepada perusahaan perusak lingkungan agar menimbulkan efek jera.

Dia yakin, upaya restorasi gambut harus beriringan dengan penegakan hukum, memperkuat kebijakan moratorium pemberian izin baru, serta penyempurnaan tata kelola hutan primer dan lahan gambut, juga mengeluarkan moratorium perkebunan sawit.

"Komitmen Presiden itu menjadi kebijakan bersejarah karena pemerintah mengakui kesalahan masa lalu dalam tata kelola gambut melalui pembenahan secara sistematis dan terstruktur, termasuk kebijakan mengatasi ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang selama ini dikuasai korporasi," ucap pria berkaca mata itu.

Penghujung 2015, Menteri LHK melakukan uji teknis dan analisa peraturan perundang-undangannya izin konsesi PT LUM. Pada 14 Juni 2016, Menteri LHK menerbitkan SK Nomor; 44/Menlhk/setjen/HPL.1/6/2016 tentang pencabutan SK Menhut tentang pemberian IUPHHK-HT atasnama PT LUM.

Pasca-pencabutan izin, kesepakatan bersama memeilih skema perhutanan sosial, dan menempuh berbagai proses untuk memastikan pencabutan PT LUM tidak digantikan penerbitan izin perusahaan lain di areal yang sama.

"Kami tidak mau kemenangan pencabutan izin itu hanya sekedar kemenangan kosong," tegas Riko.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mengatakan, penyerahan tujuh SK Hutan Desa tersebut menjadi momentum perjuangan perluasan wilayah kelola rakyat.

Menurut dia, tujuh SK untuk hutan desa seluas 10.390 hektar hanya catatan kecil dari janji seluas 12,7 juta hektar perhutanan sosial dan 9 juta hektar tanah objek reforma agraria yang dijanjikan negara untuk didistribusikan secara adil dan lestari kepada rakyat.

"Keberhasilan ketujuh desa ini harus menjadi preseden tegas perjuangan merebut daulat rakyat terhadap wilayah kelola dan sumber penghidupannya," kata Hidayati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com