Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sulitnya Mencari Tukang Cangkul

Kompas.com - 22/03/2017, 19:55 WIB

KOMPAS.com - Pemerintah berusaha menggenjot hasil pertanian semaksimal mungkin agar menjadi negara swasembada dan tidak lagi bergantung impor. Semua dilakukan, seolah-olah masalah hanya pada budidaya pertanian. Satu hal mungkin dilupakan. Masih adakah orang mau bertani?

Sutadji (68), petani asal Desa Slumbung, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, sudah 10 tahun terakhir kesulitan mencari buruh tani. Akhirnya, ia meminta anak lelakinya yang bekerja sebagai karyawan swasta di Kota Malang untuk pulang setiap musim tanam dan panen. Tujuannya, untuk membantu mengolah sawah.

"Saat mulai tanam, biasanya butuh tiga tukang cangkul untuk mengerjakan 5.500 meter persegi lahan saya. Di desa kami, hanya tersisa seorang tukang cangkul. Ia masih mau bekerja pada kami karena merasa utang jasa," kata Sutadji awal Februari lalu.

Sulitnya mencari tukang cangkul membuat Sutadji dan anaknya harus turun tangan sendiri membantu mencangkul lahan. Jika tidak dicangkul dengan tenaga cukup, musim tanam akan molor. Jika musim tanam molor, hal itu akan berdampak pada sulitnya mencari buruh tanam. "Saat ini saja, saya sudah harus memesan 1,5 bulan sebelumnya untuk mendapat pekerja," kata pria pensiunan guru olahraga tersebut.

Jauh sebelum ditanami, sawah harus dicangkul beberapa kali. Petani pun tidak bisa hanya bergantung pada traktor karena traktor hanya bekerja di bagian tengah lahan. Traktor tak mampu menjangkau sudut, apalagi di lahan berbukit.

"Susah mencari orang yang mau bertani sekarang ini. Hanya tersisa orang-orang tua, seperti saya, yang semakin lama tak kuat lagi ke sawah. Anak muda memilih keluar negeri, jadi tenaga kerja Indonesia. Mereka mungkin tidak bangga menjadi petani," kata Sutadji, tersenyum.

Suparno (66), petani Desa Ampeldento, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, menunggu 10 hari sebelum mendapat pekerja untuk matun (membersihkan gulma). Saat antrean terlalu lama, ia sering mencari pekerja dari luar desa agar masa tanam tak terganggu.

Ayah tiga anak itu mengatakan, anak-anaknya tidak tertarik bertani. Mereka memilih bekerja di peternakan ayam milik orang lain. Kondisi itu jauh berbeda dengan zamannya dulu. Suparno terjun ke sawah saat masih duduk di sekolah dasar. "Tapi saya optimistis, anak-anak saya pasti akan kembali ke sawah kalau mereka sudah kepepet," ujar Suparno.

Usia petani

Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API) Muhammad Nuruddin menyebutkan, penelitian API tahun 2008 menemukan 60 persen petani Indonesia didominasi petani berusia 40-60 tahun. Sisanya, 30 persen, berusia 50-60 tahun, dan hanya 10 persen berusia 30 tahun.

"Sebenarnya bukan hanya jumlah petani yang jadi persoalan. Masalahnya adalah orang tidak lagi bangga menjadi petani. Kebijakan pemerintah belum mengarah untuk membangkitkan kebanggaan itu. APBN untuk pertanian besarnya Rp 42 triliun, tetapi alokasi untuk membangun petani sangat minim. Sebagian besar digunakan menggenjot budidaya pertanian, termasuk mengadakan alat dan mesin pertanian," katanya.

Padahal, memberikan alat dan mesin pertanian kepada petani justru mematikan budaya pertanian. Petani bergantung pada bibit dan pupuk yang ditawarkan pedagang sehingga tak memproduksi sendiri, tidak lagi mampu niteni mongso (mencermati musim). Akibatnya, petani kadang gagal panen dan kembali bergantung pada bahan kimia untuk mempertahankan tanaman. Dengan itu semua, ibaratnya kaki-tangan pertanian terus dipatahkan, semakin bergantung pada pemberian.

"Karena tidak mandiri, petani hanya jadi sasaran permainan harga, baik harga kebutuhan untuk proses produksi maupun harga jual produk. Tak heran jika petani tak pernah bisa menguasai harga produk sendiri," kata Nuruddin.

Petani susah payah mengolah sawah, harga pupuk dan sarana penunjang produksi terus naik, lalu tiba-tiba saat panen harga jatuh. "Mungkin itu sebabnya banyak orang tidak bangga jadi petani. Apa yang dibanggakan? Mereka tidak berkuasa atas hasil pertanian sendiri. Masuk akal jika generasi muda menjauhi pertanian," ucap Nuruddin.

Meskipun bersusah payah, petani kita tetap memilih bertani. James C Scott, dalam buku Moral Ekonomi Petani, mengatakan, petani menyelamatkan yang tersisa dari yang mereka punya. Meskipun harus bertahan dalam kemiskinan, seringnya bergantung pada sekitar (etika subsistensi petani).

Membangun kebanggaan

Pemerintah seharusnya bertanggung jawab membangun sistem pertanian berkelanjutan. Produk pertanian dicarikan pasar, dan harga tidak dipukul rata untuk semua kualitas.

Sayangnya, harga bagus bagi petani justru menjadi pintu masuk para pengeruk untung menggaungkan kurangnya stok pangan nasional. Apalagi, jika saat itu terjadi bencana. Harga beras tinggi, pemerintah menggelar operasi pasar, beras cadangan pemerintah berkurang, lalu ujung-ujungnya dipilih impor. Cerita itu terus berulang.

Meski kisah sedih pertanian terus terjadi, di Malang Raya tetap ada orang yang berusaha membangun kebanggaan bidang pertanian. Rudi Madiyanto (40), petani apel dan kentang asal Bumiaji, Kota Batu, adalah salah satunya. Ia melawan dominasi bibit kentang impor dengan membuat bibit kentang sendiri. Rudi membangun sistem aeroponik (pertanian menggunakan udara), guna memproduksi bibit yang dijual ke seluruh Indonesia.

"Mungkin saya tidak bisa memproduksi kentang. Namun, saya bisa menyuplai bibit kentang yang saat ini dikuasai bibit impor dari Australia dan Belanda. Kita harus bisa membuat bibit sendiri agar tak hanya menjadi pasar produk luar negeri," kata sarjana pertanian dan sarjana ilmu komputer tersebut.

Dalam bentuk berbeda, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, bersama Kementerian Pertanian, mendidik 100 lulusannya untuk berwirausaha di bidang pertanian. Mereka mengembangkan pertanian dengan pendekatan industri (bioindustri). Anak-anak muda tidak harus masuk ke lumpur untuk bertani. Tujuannya satu, menarik perhatian anak muda bertani.

Pemerintah Kota Malang pun melalui Badan Pelayanan Pajak Daerah memberikan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan kepada 325 petani pemilik sawah. Mereka mendapat potongan PBB tahun 2017 sebesar 50-75 persen. Tujuannya, agar sawah tidak dijual.

Upaya melindungi pertanian sudah muncul dari daerah. Bagaimana pusat? Adakah kebijakan strategis untuk melindungi sektor, yang menurut Presiden Soekarno adalah Tiang Agung Negara Indonesia (TANI)? (Dahlia Irawati)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Maret 2017, di halaman 23 dengan judul "Sulitnya Mencari Tukang Cangkul".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com