Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasang Surut Kopi Merapi

Kompas.com - 17/03/2017, 10:28 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

SLEMAN, KOMPAS.com - Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kopi. Berbagai jenis kopi dapat dijumpai di Indonesia. Salah satunya kopi dari Merapi yang diberi nama "Kopi Merapi".

Salah satu sosok yang berhasil mengembangkan dan mengangkat "Kopi Merapi" adalah Sumijo (40), warga Pentung, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman.

Ditemani seduhan kopi Merapi, sembari duduk santai di gazebo Koperasi Kebun Makmur di Jalan Kaliurang Km 20, Sumijo sekaligus ketua Koperasi Kebun Makmur, menceritakan bahwa tanaman kopi di lereng Merapi sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.

"Saya pernah ngobrol-ngobrol dengan Pak Subandrio dulu kepala BPPTKG. Dahulu di Merapi itu katanya banyak kebun kopinya," jelas Sumijo kepada Kompas.com, Rabu (15/3/2017).

Pembudidayaan kopi di lereng Merapi sudah berjalan sejak turun-temurun, meskipun keberadaanya harus mengalami pasang surut. Sebab lokasinya berada di lereng Gunung aktif.

Setiap kali terjadi erupsi Merapi, tanaman kopi mengalami kerusakan karena terkena material erupsi Gunung Merapi. Karena kerap terkena material erupsi, batang tanaman kopi di lereng Merapi jarang berukuran besar.

Pernah Sumijo menjumpai tanaman kopi jenis Robusta yang batangnya besar, namun terkena erupsi Merapi 2010 lalu.

"Tergantung arah luncuran material erupsi Merapi. Kalau ke barat ya yang kena di sana, terutama pada tahun 1930. Tapi setelah itu lebih sering ke tenggara dan selatan," bebernya.

Dijelaskannya, secara intensif penanaman kopi jenis Robusta di lereng Merapi dimulai sekitar tahun 1984. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1992 kopi jenis Arabika dikembangkan di lereng Merapi.

Sebenarnya, budidaya kopi di lereng Merapi dilakukan secara intensif pada tahun 1984 dan tahun 1992 karena merupakan program pemerintah.

"Jadi mulai ditanam masal itu tahun 1984, sebelum itu lahan warga satu dua hanya ditanami kopi, terutama Arabika sama Robusta yang jenis bijinya kecil-kecil. Kalau masyarakat sini menyebutnya kopi Meneer," ucapnya.

Pada saat itu, sudah terbentuk kelompok-kelompok tani. Hanya memang untuk mengelola usaha kopi kebanyakan belum maksimal. Mereka lebih cenderung ke budidaya lalu menjual hasil panen dalam bentuk mentah atau biji basah.

"Saya amati harganya sering naik turun, tetapi cenderung harganya murah. Saya kasihan, untuk menghasilkan biji kopi butuh waktu lama 3 sampai 4 tahun, kemudian ketika panen, dijual harganya murah," urainya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com