Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melawan Stigma Kusta, Jangan Kucilkan Mereka (2)

Kompas.com - 16/03/2017, 16:03 WIB

Penulis

TR (27), seorang ibu rumah tangga dengan satu anak harus menerima kenyataan pahit kala diberhentikan dari tempatnya bekerja di Manado saat dia didiagnosa kusta pada Desember 2016. Padahal dia sudah bekerja di swalayan besar di Manado itu selama 5 tahun.

"Dokter perusahaan memeriksa saya karena wajah saya menunjukkan kelainan. Saat hasil pemeriksaan laboratorium keluar, saya diberhentikan," keluh TR.

Kini TR mendapat penanganan medis di Puskesmas Bahu, Kecamatan Malalayang, Manado. Pengobatan yang segera bisa mencegah TR dan penderita lainnya tidak mengalami cacat. Beruntung, suami TR bisa menerima dan memahami kondisinya.

"Dia sudah tahu, saya tidak akan menularinya," ujar TR.

Jangan kucilkan mereka

Dr Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman Mycobacterium leprae sebagai penyebab kusta. Karena disebabkan oleh kuman, kusta tidak turun menurun, bukan karena kutukan atau dosa.

Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dan menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Bila tidak ditangani, kusta akan sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, serta anggota gerak dan mata.

Kuman penyebab kusta menular kepada manusia melalui kontak langsung dalam jangka waktu yang lama dengan penderita dengan proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun.

Felix (65), Orang yang Pernah Mengalami Kusta difoto saat berada di rumah kakaknya, di Kelurahan Pandu, Kecamatan Bunaken, Manado.Kompas.com/Ronny Adolof Buol Felix (65), Orang yang Pernah Mengalami Kusta difoto saat berada di rumah kakaknya, di Kelurahan Pandu, Kecamatan Bunaken, Manado.
Tanda-tanda seseorang menderita kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ada bagian tubuh tidak berkeringat, muka benjol-benjol dan tegang.

"Bercak pertama saya ada di bokong, di daerah tertutup, jadi saya tidak tahu, sampai mulai rasa kaku dan hilang rasa, lalu wajah mulai kemerah-merahan," ujar TR saat menceritakan awal dia terkena kusta.

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang bersih, asupan gizi yang buruk dan adanya penyertaan penyakit lain yang dapat menekan sistem imun.

Dari data NLR Indonesia, sejak tahun 1979 hingga tahun 2014, ada sebanyak 14.542 kasus kusta di Sulut yang sudah selesai berobat dan dinyatakan sembuh.

"Dana NLR Indonesia datang dari para donatur di Belanda. Di sini kami bekerjasama dengan pemerintah khususnya Dinas Kesehatan untuk menangani penyakit ini. Walau sokongan dana terus menurun, namun kami berharap, program ini masih akan terus berlanjut," ucap Rein.

Masalah dana memang menjadi salah satu persoalan utama penanganan kusta. Dukungan dana dari APBN dan APBD sangat kecil. Hal ini mungkin karena penderita kusta yang dianggap kecil dibandingkan dengan penyakit menular lainnya.

"Saat ini dalam setahun kami cuma dapat suplai biaya operasional yang sangat kecil. Tidak sampai sejuta per desa per tahun. Dana APBD apalagi, kecil sekali. Padahal dalam setahun, kami harus berkunjung empat kali ke setiap desa yang tercakup dalam program Bina Desaku," tutur Pelaksana TB/Kusta Dinas Kesehatan Minahasa Utara Youla Mamesah, yang juga merupakan wasor supervisor kusta di Minahasa Utara.

Dengan mengenali gejala-gelaja penyakit kusta dan segera mengambil tindakan untuk menghubungi petugas kesehatan terdekat di Puskesmas, diharapakan dapat menurunkan jumlah penderita baru.

Menerima penderita kusta dan orang yang pernah mengalami kusta tanpa mengucilkan mereka, dan membuang jauh-jauh stigma negatif kusta akan sangat memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penanganan penyakit ini.

Bersambung: Kisah Pilu Mereka yang Dipecat karena Kusta (3)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com