Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melawan Stigma Kusta, Jangan Kucilkan Mereka (2)

Kompas.com - 16/03/2017, 16:03 WIB

Penulis

Terabaikan karena stigma

Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan provinsi, secara rutin dan terus menerus juga mempersiapkan dokter dan tenaga medis serta petugas di Puskesmas untuk menangani para penderita. Harapannya mata rantai penyebaran bakteri kusta bisa diputus.

"Tetapi memang tidak gampang. Stigma negatif telah membuat para penderita seolah terabaikan. Grafik jumlah penderita baru itu lebih mencerminkan fenomena resource daripada fenomena epidemis," ungkap Steaven yang merupakan salah satu dokter konsultan kusta di Indonesia.

Project Koordinator NLR Indonesia di Sulut, Rein Tampi, yang telah bekerja sejak tahun 1979 dalam upaya pengendalian kusta juga mengakui tidak gampang menghilangkan stigma negatif itu.

Felix (65), Orang yang Pernah Mengalami Kusta saat ditemui di Lembah Anugerah Hayat di Kelurahan Pandu, Kecamatan Bunaken, Manado.Kompas.com/Ronny Adolof Buol Felix (65), Orang yang Pernah Mengalami Kusta saat ditemui di Lembah Anugerah Hayat di Kelurahan Pandu, Kecamatan Bunaken, Manado.
Penyakit ini dianggap sebagai kutukan karena pada penderita yang kronis bisa mengakibatkan cacat fisik di wajah dan kulit yang buruk. Mata tak bisa menutup karena syaraf terganggu, jari tangan atau kaki bengkok, serta luka pada telapak tangan dan kaki akibat mati rasa.

Kondisi fisik serta stigma negatif itu tak pelak, membuat para penderita dicemooh bahkan dikucilkan dan diasingkan. Keluarga sendiri pun merasa aib jika ada anggota keluarga yang menderita kusta.

Akibatnya, banyak penderita kusta yang tak bisa berkembang, secara sosial mereka termarjinalkan dan secara ekonomi terpasung oleh karena ketakutan masyarakat akan penyakit yang mereka derita.

"Saya sudah 37 tahun berkeliling hingga ke daerah-daerah terpencil dan pulau-pulau mencari para penderita. Berinteraksi dengan mereka. Tapi hingga sekarang saya tetap sehat," kata Rein yang saat ini sudah berusia 72 tahun.

Derita termarjinalkan itu juga membekas pada Wempie Kaunang (59), orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), sebutan untuk eks penderita kusta. Dia masih ingat betul, bagaimana kondisi tangannya yang cacat begitu ditakuti orang.

"Dulu saat mau naik angkot yang menunggu penumpang, sopir akan bilang kalau dia tidak jadi jalan dan penumpang yang sudah ada di dalam angkot turun. Tapi saat saya menjauh, penumpang itu naik ulang dan angkot itu segera pergi," tutur Wempie.

Padahal Wempie telah sembuh total. Bekas serangan bakteri kusta membekas di jemarinya yang cacat dan kakinya yang kini harus memakai kaki palsu. Dia telah menikah dan dikarunia dua orang anak serta satu cucu. Tidak satupun dari istri dan anak serta cucunya yang tertular kusta. Pun demikian dengan delapan adik-adiknya.

"Kusta tidak mudah menular, seperti yang dibayangkan banyak orang. Apalagi jika penderita telah berobat. Kesulitan penanganan penyakit ini lebih disebabkan karena stigma negatif itu tadi," ucap Steaven yang juga berperan sebagai Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Sulut.

Walau kini, pandangan masyarakat mulai berubah seiring dengan berbagai penyuluhan kesehatan soal kusta terus dilakukan, serta makin tingginya interaksi dengan orang yang pernah mengalami kusta dalam berbagai kegiatan. Namun dalam beberapa kasus, perlakuan diskriminatif masih diterima oleh penderita.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com