Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menggempur Pencuri Ikan Lewat Udara dan Laut

Kompas.com - 23/02/2017, 15:08 WIB

KOMPAS.com - Mendung membungkus langit Ambon saat roda pesawat jenis Cessna 208B meninggalkan landasan Bandar Udara Pattimura, Jumat (17/2/2017) pagi. Disambut arakan awan tipis, pesawat melintasi Teluk Ambon, tempat ratusan kapal ikan asing berlabuh.

Sepuluh menit berselang, pilot Thomas dan kopilot Robert mengarahkan pesawat melintasi Pulau Seram dari selatan ke utara. Pesawat membelah bagian tengah pulau seluas 18.625 kilometer persegi itu hingga tiba di Laut Seram, lokasi perairan yang bertahun-tahun menjadi surga bagi para pencuri ikan.

Tiba di utara Seram, pesawat berbelok ke kanan dengan laju tidak lebih dari 125 knot (231,5 kilometer per jam). Jarak antara badan pesawat dan permukaan air hanya sekitar 350 meter. Tujuannya agar aktivitas perairan dapat terpantau dengan jelas dari pesawat. Perburuan pun dimulai.

M Ikhsan, analis penyusun rencana operasi kapal pengawas Direktorat Pemantauan dan Operasi Kapal Armada Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang memimpin operasi itu, melihat ke bawah lewat jendela pesawat. Saat ada obyek mencurigakan, ia mengambil teropong untuk melihat lebih dekat obyek itu. Kompas ikut dalam operasi menggunakan pesawat berkapasitas 12 penumpang itu, bersama 10 personel tim termasuk Ikhsan.

Satu jam kemudian, sebuah kapal ikan berukuran sekitar 300 gros ton (GT) terpantau di perairan sekitar Kabupaten Seram Bagian Timur. Ikhsan pun meminta pilot mengitari kapal itu. Merasa aksinya dalam pantauan, kapal menambah kecepatan. Ikhsan merekam posisi dan arah kapal kemudian melaporkan kepada petugas patroli laut di KM Hiu Macan 03 lewat telepon satelit.

Anggota tim lain dibantu pilot dan kopilot memantau perairan. Selain memantau kapal penangkap ilegal ikan, operasi juga bertujuan mengidentifikasi rumpon (rumah ikan) yang terpasang di Laut Seram. Sekitar koordinat 2º 35' 54" detik lintang utara dan 129º 28' 27" bujur timur terlihat sebuah rumpon.

Ikhsan kembali merekam posisi rumpon dan melaporkan kepada petugas di kapal. Rumpon yang berada lebih dari 12 mil laut (22,22 kilometer) dari darat itu tak mengantongi izin. Sekitar enam rumpon terdeteksi. Keberadaan rumpon mengganggu migrasi ikan dan menghalangi pergerakan ikan ke pesisir.

Kondisi ini menyulitkan nelayan lokal yang belakangan mencari ikan jauh ke tengah laut dengan waktu tempuh di atas tiga jam sehingga memerlukan bahan bakar yang cukup banyak. Selain itu, mengancam keselamatan nelayan ketika cuaca buruk melanda perairan.

Setelah pesawat memasuki sebagian wilayah Provinsi Papua Barat, kondisi cuaca mulai memburuk. Kontak visual terhalang kabut sehingga Ikhsan selaku ketua tim memutuskan operasi dihentikan. Pesawat pun kembali mendarat di Bandara Pattimura sekitar pukul 12.00 WIT, setelah lebih dari 3,5 jam meninggalkan landasan itu.

Operasi pada Jumat lalu merupakan hari ketiga sejak Rabu (15/2) dalam rangkaian Operasi Matra Udara. Selama tiga hari, ditemukan 64 rumpon yang semuanya diduga tak mengantongi izin. Salah satunya dijaga nelayan asing asal Filipina. Nelayan itu dibawa ke Ambon dan tempat tinggal di rumpon dibakar agar tidak mengganggu pelayaran.

Prioritas

Laut Seram menjadi target pertama menyusul maraknya praktik penangkapan ilegal ikan. Januari lalu, Kompas pernah bertemu langsung dengan nelayan asal Filipina yang menjaga rumpon milik pengusaha ikan keturunan Taiwan yang bermarkas di Bitung, Sulawesi Utara. Lokasi itu berada sekitar 22 mil laut (40,74 kilometer) arah barat laut Desa Kawa, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat.

Operasi gabungan di Laut Seram itu merupakan yang pertama kali di Indonesia. Operasi serupa akan berlangsung di 17 titik perairan di Indonesia. Di Maluku akan digelar lagi operasi di Laut Arafura dan Laut Banda, Agustus mendatang. Di dua perairan itu diperkirakan juga banyak terjadi penangkapan ilegal ikan seperti di Laut Seram. "Pelanggaran perairan di Maluku cukup tinggi sehingga diprioritaskan," kata Ikhsan.

Dalam satu hari, jangkauan jelajah pesawat diperkirakan mencapai 700 mil laut (1.296 kilometer) dengan kontak visual dari dalam pesawat sekitar 60.000 mil laut persegi (111.120 kilometer persegi). Waktu operasi dalam sehari maksimal 4 jam menggunakan pesawat jenis Cessna 208B milik maskapai Susi Air dengan tarif 1.600 dollar AS per jam. Ikhsan beralasan, operasi gabungan pesawat dan kapal lebih murah. Ada efisiensi anggaran sekitar 40 persen.

Operasi gabungan juga lebih efektif. Pesawat dikerahkan untuk memantau dan melaporkan posisi obyek mencurigakan dan melaporkan kepada petugas di kapal. Selanjutnya, kapal bergerak menuju target. Lebih banyak target terjaring. Jika hanya mengandalkan kapal, bahan bakar kapal habis saat patroli tanpa sasaran yang pasti. Dalam operasi gabungan, kapal berlabuh dan siap menunggu perintah dari pesawat.

Apresiasi nelayan

Ketua Kelompok Nelayan Nusa Kamu, Desa Kawa, Samsul Sia mengapresiasi keseriusan pemerintah menertibkan perairan itu. Selama ini, nelayan Kawa menjadi saksi sekaligus korban. Mereka menyaksikan jual beli pengaruh antara petugas dan pelaku di tengah laut. Mereka juga melaut hingga lebih dari 20 mil laut dari darat akibat banyaknya rumpon. "Setelah operasi itu, banyak kapal besar tidak kelihatan lagi. Mereka sudah lari," katanya.

Selama bertahun-tahun sebelum pemberantasan penangkapan ilegal ikan dimulai pada akhir 2014, perairan Maluku menjadi surga bagi pelaku pencurian ikan. Di Laut Arafura, misalnya, KKP mencatat, dalam satu tahun, negara kehilangan lebih dari Rp 40 triliun atau hampir 20 kali lipat dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Maluku. Belum lagi perairan lain, seperti Laut Seram dan Laut Banda, yang tak kalah kaya potensinya.

Pemberantasan penangkapan ilegal ikan merupakan bagian dari menjaga sumber daya perikanan di Maluku yang kini menjadi prioritas pengelolaan perikanan secara nasional. Potensi ikan di Laut Seram menurut Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan, seperti yang dihimpun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, diperkirakan sebesar 631.704 ton per tahun. Potensi di Maluku 3,03 juta ton per tahun atau 30,76 persen dari potensi nasional.

Saat berkunjung ke Ambon dalam rangka Hari Pers Nasional pada 9 Februari, Presiden Joko Widodo berjanji akan memprioritaskan pembangunan sektor perikanan di Maluku.

Pekan lalu, Gubernur Maluku Said Assagaff diundang ke Jakarta untuk membicarakan hal tersebut. Ini saatnya memulai membangun kejayaan nelayan lokal yang kini masih dicengkeram kemiskinan di tengah potensi laut yang melimpah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Februari 2017, di halaman 23 dengan judul "Menggempur Pencuri Lewat Udara dan Laut".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com