Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Walhi Minta Bupati Sumba Timur Hentikan Kriminalisasi terhadap Aktivis

Kompas.com - 12/02/2017, 09:02 WIB
Sigiranus Marutho Bere

Penulis

KUPANG, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nusa Tenggara Timur Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi meminta Bupati Sumba Timur Gidion Mbiliyora menghentikan upaya kriminalisasi terhadap aktivis Walhi NTT, Deddy Febrianto Hollo.

Deddy dilaporkan ke Kepolisian Resor Sumba Timur karena diduga melakukan pencemaran nama baik lewat kritik yang disampaikan di media sosial Facebook.

(Baca juga Kritik Pemda di Facebook, Aktivis Walhi Dilaporkan ke Polisi)

Umbu menyatakan, posting Deddy di media sosial tidak menyatakan bahwa Gidion mendapatkan uang dari kebijakan yang dibuatnya.

Bagi Walhi ini, pelaporan itu merupakan upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh kepala daerah terhadap aktivis yang selama ini kritis dengan kebijakan pembangunan yang dilakukan Gidion.

"Bagi Walhi, latar belakang kriminalisasi ini adalah upaya menakut-nakuti rakyat yang kritis terhadap pemerintah. Seolah-olah memberi pesan, kalau Anda melawan saya, penjara tempat Anda," kata Umbu kepada Kompas.com, Sabtu (11/2/2017) malam.

Dalam kurun waktu 2 bulan terakhir Walhi NTT mengkritik kebijakan perkebunan monokultur yang dijalankan oleh Bupati Sumba Timur.

salah satu kasus yang disorot oleh Walhi NTT adalah keberadaan PT MSM, sebuah perusahaan perkebunan tebu yang mengantongi izin seluas 52. 000 hektar.

"Mulai dari persoalan kontekstual, apakah kita butuh pangan atau tebu, masalah sumber daya air yang dibiarkan oleh pemerintah dikuasai oleh perusahaan, persoalan perambahan hutan alam primer oleh PT MSM hingga soal 780 hektar sawah warga di Wanga yang kekeringan akibat ketidakadaan air, sementara di kawasan hulu perusahan memiliki air," kata Umbu.

Umbu menilai bahwa kritik yang disampaikan oleh Dedy Febrianto Hollo adalah suara Walhi NTT untuk membantu negara dalam mencegah upaya-upaya pengabaian hak asasi warga terkait kelestarian ekologis dan berdaulat atas wilayah kelolanya.

Mengutip Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Umbu mengatkaan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Karena itu, Walhi mengecam segala upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh Bupati Sumba Timur terhadap aktivis sahabat alam Walhi NTT Deddy Febrianto Holo.

Umbu meminta pemerintah daerah lain di NTT untuk tidak meniru gaya kepemimpinan Bupati Sumba Timur yang alergi kritik dan menggunakan kekuasaan untuk menekan rakyat yang kritis.

Ia menilai bahwa upaya kriminalisasi ini adalah bagian dari rancangan untuk mengalihkan perhatian publik, terutama pemerhati lingkungan dan pangan, terhadap kebijakan Bupati Sumba Timur atas izin perkebunan tebu kepada PT MSM.

Perusahaan itu ditengarai sudah beroperasi tanpa mengantongi berbagai izin lingkungan dan telah melakukan perambahan hutan alam primer.

"Walhi NTT dan sahabat alam tidak akan jera atas kasus kriminalisasi ini dan terus mengkritisi kebijakan pemerintah daerah yang mengabaikan kelestarian lingkungan hidup dan pencaplokan wilayah kelola rakyat," ujar Umbu.

Belum lama ini, Gidion mengatakan bahwa Deddy dilaporkan ke polisi karena dianggap telah melakukan pencemaran dan fitnah terhadap dirinya.

Ia mengatakan bahwa dalam komentar Deddy di media sosial Facebook, disebutkan bahwa dia tidak mencabut hak guna usaha (HGU) PT AA karena ia masih senang mendapat uang.

"Katanya kita tidak cabut HGU-nya PT AA karena masih senang dapat uang. Padahal kita tidak punya kewenangan untuk cabut HGU itu sehingga ada pegawai negeri sipil (PNS) di Sumba Timur yang lapor polisi," kata Gidion tanpa menyebut nama PNS itu.

Gidion menyatakan bahwa ia tidak alergi terhadap kritik. Namun, bila kritik itu mengandung fitnah atau pencemaran nama baik seseorang, ada konsekuensi hukum yang harus ditanggung.

(Baca juga Laporkan Aktivis Walhi ke Polisi, Ini Alasan Bupati Sumba Timur)

Selain itu, kata Gidion, alasan lainnya yang membuat PNS melapor ke polisi karena dirinya dituding mendapatkan tanah di Desa Napu, Kecamatan Haharu, Sumba Timur.

"Itu yang sangat disesalkan karena saya tidak pernah ajukan permohonan tanah ke kepala desa atau ke (Badan) Pertanahan," kata Gidion kepada Kompas.com, Kamis (9/2/2017).

Terhadap persoalan itu, Gidion berharap agar siapa pun yang berkomentar atau mencermati sesuatu di media sosial harus dilengkapi dengan data akurat sehingga dapat menghindari kemungkinan memberikan info yang tidak benar kepada masyarakat.

Kepala Kepolisian Resor Sumba Timur Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Alfis Suhaili membenarkan adanya laporan itu, tetapi kasusnya masih dalam penyelidikan. Pemeriksaan akan berlangsung di Polda NTT.

"Kami numpang tempat saja di ruangan Ditreskrimum (Polda NTT) karena kalau kita minta ketemu di Sumba Timur akan memerlukan waktu dan biaya, serta mungkin menyulitkan rekan kita (Deddy) yang akan dimintai keterangan," kata Alfis, Rabu (8/2/2017).

Alfis mengatakan bahwa pihaknya belum bisa menyebutkan pelapor dalam surat pemanggilan itu karena kasus ini masih penyelidikan. Nama pelapor akan disampaikan pada saat kasus itu dinaikan pada tahap penyidikan.

"Kasusnya masih penyelidikan dan belum sampai pada penyidikan atau sifatnya masih hanya konfirmasi," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com