Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Usul BNPB Relokasi Pengungsi Sinabung ke Kawasan Hutan Dikritik

Kompas.com - 10/02/2017, 21:04 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

MEDAN, KOMPAS.com - Saat ini pemerintah sedang bekerja keras menyelesaikan relokasi pengungsi Gunung Sinabung tahap II untuk 1.903 kepala keluarga (KK).

Sebanyak 1.655 unit rumah ditargetkan selesai pada Agustus 2017, setelah itu dilanjutkan dengan relokasi 1.050 KK pada tahap III. Namun, pemerintah mengaku kesulitan karena ketiadaan lahan.

"Lahan relokasi permukiman dan usaha tani belum tersedia sepenuhnya. Lahan tapak rumah sudah disiapkan di Siosar untuk 2.053 KK seluas 250 hektar, namun tidak tersedia lahan untuk bertani sehingga masyarakat tidak bersedia direlokasi," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, Rabu (7/2/2017).

Tanpa ada lahan baru, maka relokasi akan terhambat. Masyarakat akan lebih lama tinggal di pengungsian dan sulit membangun kehidupan yang lebih baik.

Kunci utama penyelesaian pengungsi Gunung Sinabung adalah penyediaan lahan untuk permukiman dan usaha tani relokasi.

Menurut Sutopo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memberikan lahan area penggunaan lain (APL) seluas 6.300 hektar yang cukup untuk permukiman dan usaha tani. Namun, semua lahan tersebut sudah dikuasai pihak lain.

"Oleh karena itu perlu pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 750 hektar untuk menampung relokasi sejumlah 1.271 KK," ucapnya.

Sekretaris Jenderal Komunitas Peduli Hutan Sumatera Utara (KHPSU) Jimmy Panjaitan menolak keras sikap BNPB yang meminta kawasan hutan sebagai alternatif relokasi penanganan pengungsi Sinabung.

Jimmy menegaskan, kawasan hutan yang tersisa di Kabupaten Karo atau sekitarnya memiliki fungsi penting sebagai pelindung daerah resapan air dan zona penyangga penghidupan masyarakat.

"Wilayah hutan Kabupaten Tanah Karo merupakan bagian hulu yang sangat penting keberadaannya bagi ekosistem di wilayah Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Kota Medan, dan Kabupaten Deliserdang. Jangan penanganan bencana model ini justru menimbulkan bencana baru yang lebih masif," kata Jimmy, Jumat (10/2/2017).

Saat ini, dampak dari penghancuran hutan sudah dapat dirasakan, antara lain adanya longsor, banjir, krisis air untuk domestik dan pertanian, serta perubahan suhu.

Saat ini Indonesia justru diharapkan menjaga wilayah hutan yang tersisa demi penghidupan yang akan datang. Apalagi program-program pemerintah lainnya sangat terintegrasi dengan daya dukung lingkungan dan hutan seperti program ketahanan pangan.

"Bencana erupsi Sinabung memang ironis dan dilema karena tidak bisa dipastikan kapan berakhir. Maka kami menyarankan kepada pemerintah untuk segera mencari alternatif lain yang lebih arif dan bijak, jangan sesaat," ucapnya.

Dengan relokasi mandiri yang utuh, misalnya, pemerintah menyerahkan sejumlah dana bantuan utuh kepada para pengungsi untuk mencari sendiri tempat tinggal baru serta lahan pertanian atau pekerjaannya.

"Tentunya dilakukan rembuk dengan masyarakat pengungsi tentang lahan-lahan desa yang mereka tinggalkan saat ini," kata Jimmy.

Sofian Adly dari APePeBe Medan dan tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Sinabung menilai bahwa BNPB terindikasi frustrasi sampai mengeluarkan pernyataan tersebut.

"Verifikasi persoalan di Tanah Karo bukan hanya pemindahan bangunan fisik, tapi juga bangunan psikis yang harus ditambah dan perkuat. BNPB terlihat tidak cukup sumber daya untuk melakukan penanganan kebencanaan di Sinabung yang tipikal gunungnya berbeda dari gunung api lain," kata Adly.

Yeka Kusumajaya, staf UNDP yang juga tergabung dalam Sekber Sinabung, menambahkan dari sisi proses yang pernah dan sudah dilakukan. Pada relokasi tahap II, kendalanya adalah lahan pertanian, bukan lahan hunian, karena pengungsi ditempatkan di Siosar.

Menurut dia, lahan Siosar juga kurang bagus untuk pertanian holtikultura. Karena itu, tidka semestinya warga dipaksa bermukim di sana,

Ia juga mendorong adanya dialog dengan pengungsi dan memberikan pilihan kepada mereka untuk mencari lahan pertanian di mana saja asal sesuai dengan bujet yang disediakan pemerintah.

"Saya rasa masyarakat lebih arif dan bijak dalam memilih lahan pertanian yang sesuai dengan keinginannya," ucap Yeka.

Menurut Yeka, akan ada pertanyaan mengapa lahan pertanian akan jauh dari permukiman dan terpencar-pencar. Baginya hal itu tidak masalah asal permukimannya masih satu sehingga aset desa, budaya, sosial politiknya tidak hilang.

"Aset ekonominya bisa di mana saja yang penting pengungsi bisa hidup kembali secara normal," katanya.

Kesimpulannya, merelokasi pengungsi bukan hanya bangunan fisiknya, tetapi juga harus merelokasi kehidupan dan peradaban mereka.

Pemikiran ini akan berjalan jika tidak dicemari oleh kepentingan-kepentingan proyek dan mencari keuntungan pribadi.

"Kalau kita masih mau berpikir untuk masyarakat dan menolong mereka, maka saya yakin semua akan ada solusinya," ujarnya.

Mengenai data yang dikeluarkan BNPB, Yeka menilai bahwa angka atau data pasti akan menjadi perdebatan panjang karena data tersebut jarang di-update, sedangkan pertambahan penduduk tiap bulan, tahun, akan berubah.

"Seperti jumlah KK pasti akan bertambah, sedangkan bantuannya masih tetap angka lama. Saat diverifikasi akan jadi masalah karena bujet anggarannya masih berbasis data 2010. Nah, yang jadi tumbalnya teman-teman fasilitator," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com