Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahasa Malangan "Walikan" dan Komunitas

Kompas.com - 09/02/2017, 07:18 WIB
Andi Hartik

Penulis

MALANG, KOMPAS.com - "Tahes komes sam". Sebuah kata yang terdengar asing, tapi familiar untuk warga asli Malang. Kata itu biasa digunakan oleh warga asli Malang untuk mendoakan temannya supaya tetap sehat.

Berasal dari bahasa walikan yang berarti "sehat semok mas". Semok artinya tidak kurus dan tidak gemuk.

Bahasa walikan yang menjadi salah satu dasar bahasa malangan memang menjadi fenomena. Muncul pertama kali sekitar tahun 1948, bahasa malangan kemudian berkembang hingga tahun 1980 - an dan menjadi salah satu identitas warga asli Malang.

Seiring perkembangannya, bahasa malangan mulai mengalami distorsi. Banyak orang yang tidak paham dengan bahasa malangan. Mereka mengartikan bahwa bahasa malangan adalah bahasa walikan. Padahal tidak semua bahasa yang pengucapannya dibalik (walikan) adalah bahasa malangan. Begitu sebaliknya, tidak semua bahasa malangan adalah hasil dari kata yang dibalik (walikan).

"Bahasa malangan tidak selalu identik dengan bahasa walikan," kata pemerhati bahasa malangan, Abdul Wahab Adinegoro, Rabu (8/2/2017).

Pria yang saat ini sedang berupaya untuk menyusun ensiklopedi bahasa malangan itu mengatakan, tidak semua kata bisa dibalik dan menjadi bahasa malangan.

Menurut dia, ada nilai estetika yang berlaku dalam membalik sebuah kata. Jika kata itu dibalik dan penyebutannya terasa tidak elok, maka kata itu tidak dipakai. Ia mencontohkan kata kaos. Kata itu menurutnya tidak elok jika dibalik menjadi soak. Sehingga kata itu tidak bisa dipakai dalam bahasa malangan.

Ia juga mencontohkan kata isuk-isuk (pagi) yang dibalik menjadi kisu-kisu. Kata itu juga bukan merupakan bahasa malangan. "Banyak yang menganggap bahwa bahasa malangan itu semua dibalik. Sehingga semuanya menjadi dibalik. Itu bukan," jelasnya.

Wahab menmyebutkan, meski bahasa malangan rata - rata berasal dari bahasa walikan seperti ayas (saya), umak (kamu), nakam (makan) dan lainnya, ada bahasa malangan yang muncul dari aspek lain.

Seperti kata pesi yang berarti bohong. Kata itu menurutnya berasal dari nama seseorang, Pelu Pesi yang tinggal di Malang. Ketika itu, Pesi senang bercerita. Saking senangnya, Pesi kadang memberikan cerita bohong.

Cerita Pesi yang bohong pun menjadi perbincangan banyak warga, terutama warga yang tinggal di kawasan Kayutangan. Hingga akhirnya, setiap warga yang bercerita bohong diidentikkan dengan Pesi. Jadilah pesi diartikan bohong.

Begitu juga dengan kata awat yang berarti bohong bagi warga yang tinggal di kawasan Sawahan, ralu yang berarti penipu bagi warga Singosari dan sanjipak yang juga berarti penipu serta kata ebes yang berarti orangtua.

"Jadi bahasa malangan kadang terbentuk dari situ," tegas pria yang kesehariannya sebagai pengacara itu.

Menurut dia, munculnya bahasa malangan itu diawali oleh adanya jiwa patriot di dalam sebuah komunitas. Wahab mengatakan, pada tahun 1940-an hingga 1980-an banyak muncul komunitas - komunitas di Malang. Seperti komunitas claket, kayutangan, sawahan, singosari, margosono, dan komunitas kidul pasar.

Setiap komunitas menciptakan bahasa-bahasa sendiri. Tujuannya sebagai kata sandi untuk mengenali anggota komunitasnya. Bahkan, para prajurit Republik Indonesia di Malang yang pada awal kemerdekaan masih berjuang mengusir penjajah juga menggunakan kata sandi yang juga menyumbang perbendaharaan bahasa malangan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com