Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar Falsafah Hidup dari Wayang Potehi

Kompas.com - 24/01/2017, 12:00 WIB
Achmad Faizal

Penulis

SURABAYA, KOMPAS.com - Tangan Sukarmudjiono lihai memainkan tokoh wayang potehi dari balik panggung. Dia menggerakkan wayang kecil berbentuk manusia dengan busana khas Tiongkok dengan gerakan berjalan, duduk, menunduk, hingga bertarung melawan wayang lainnya.

Jika tidak kebagian memainkan wayang, dalang utama grup wayang potehi Lima Merpati itu memainkan musik mengiringi jalannya cerita wayang dari balik panggung wayan potehi di Klenteng Hong Tiek Hian di Jalan Dukuh Surabaya.

Menjadi dalang wayang potehi dilakukan pria keturunan Jawa ini sejak 35 tahun lalu, rutin tiga kali setiap hari pada pukul 09.00-11.00 WIB, dilanjutkan pukul 13.00-15.00 WIB, dan pukul 18.00-20.00 WIB.

Pada waktu tertentu, Sukar kadang diundang manggung ke klenteng lain di luar daearah hingga luar pulau. Eksistensi wayang potehi di Surabaya tidak luput dari perannya dan grup Lima Merpati yang dipimpinnya.

Kontributor Surabaya, Achmad Faizal Sukarmudjiono, Dalang utama wayang potehi di Klenteng Hong Tiek Hian Surabaya
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, kerap mengundang wayang potehi sebagai pertunjukan menyambut tamu-tamu penting di Surabaya.

Sukar memang bukan keturunan Tiong Hoa, tapi soal wawasan dan referensi cerita klasik Tiongkok, sepertinya dia lebih paham warga Tionghoa sendiri di Surabaya.

Dia mangaku mengenal wayang potehi sejak kecil saat duduk di bangku sekolah dasar. Hampir setiap hari, usai pulang sekolah dia menonton wayang potehi di Klenteng Hong Tiek Hian yang berlokasi tidak jauh dari rumahnya.

"Jaman dulu kan memang tidak ada hiburan, jadi satu-satunya hiburan ya wayang potehi," katanya, Selasa (24/1/2017).

Karena menjadi penonton tetap, suatu saat si dalang pun memperbolehkan dia mendekat ke panggung untuk melihat lebih dekat dengan wayang potehi. Sejak saat itulah, Sukar kecil mulai banyak menimba pengetehuan tentang wayang potehi.

"Saat saya SMP, saya mulai diajari bermain musik sekaligus mendalang wayang potehi. Dua tahun saya belajar, akhirnya mulai bisa mendalang dan memainkan musik wayang potehi," ujarnya.

Di bawah bimbingan Gan Cao Cao, dalang wayang potehi dari Hokkian, China, Sukar terus mendalami cerita-cerita klasik Tiongkok untuk keperluan mendalang. Di tengah-tengah proses tersebut, Sukar banyak menemukan falsafah hidup di balik cerita-cerita wayang potehi yang dimainkannya.

"Saya banyak belajar falsafah hidup dari wayang potehi, seperti berbuat kebaikan, menjauhi kejahatan, menjauhi keserakahan dan sebagainya," tuturnya.

(Baca juga: Meski Tak Ada Penonton, Wayang Potehi Tetap Digelar di Klenteng Ini 3 Kali Sehari)

Salah satu cerita favorit Sukar adalah kisah dua sahabat Sun Pin dan Ban Koan. Mereka menuntut ilmu militer bersama hingga mendapat kedudukan tinggi di kerajaan. Namun, persahabatan itu menjadi retak karena sifat Ban Koan yang serakah.

”Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari cerita itu,” ujarnya.

Jelang tahun baru Imlek tahun ini, Sukar dan empat rekannya dalam grup Lima Merpati yakni, Edy Sutrisno, Sunaryo, Mulyanto, dan Riyanto, panen order untuk bermain di luar kota. Karena itu sejak dua hari menjelang perayaan tahun baru Imlek 28 Januari nanti, dia terpaksa menghentikan pertunjukan rutinnya di Klenteng Hong Tiek Hian.

"Mulai 26 Januari kita stop dulu main di Surabaya, karena ada order di Jakarta, Bandung dan Bogor. Mungkin sampe akhir bulan," pungkas Sukar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com