Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Petani Ambon Taklukkan Puncak Cartensz dan Kinabalu

Kompas.com - 23/01/2017, 06:40 WIB
Rahmat Rahman Patty

Penulis

Kondisi semakin berat ketika berada di lereng tebing Cartensz. Es yang menyelimuti punggungan hingga puncak dengan suhu berkisar di bawah nol derajat Celsius dan kadar oksigen yang kian menipis membuat pendaki harus pandai-pandai menjaga mental dan stamina tubuh.

Penyakit ketinggian seperti hipotermia adalah salah satu ancaman nyata yang bisa sewaktu-waktu berubah menjadi kematian.

Saat mendaki puncak Cartensz, Handoko tidak sendiri. Ia bersama enam rekannya datang dari daerah berbeda-beda di Indonesia. Muhidin Parapat asal Jakarta, Onet dari Makassar, serta Henny, Parman, Dian dan Irman dari Pontianak.

Empat rekannya asal Pontianak dari Mapala Universitas Tanjungpura kebetulan sedang melaksanakan misi ekspedisi menembus puncak tertinggi Indonesia.

Bersama kawan-kawan sehobi itu, Handoko sukses mencapai titik tertinggi Indonesia pukul 08.08 WIT. Diawali dengan summit attack pada pukul 02.00 dini hari dengan pemanjatan tebing menggunakan tali di tengah malam buta.

Ketika sampai di tyrolean dan jembatan tiga tali, Handoko hanya seorang diri karena pemandu sedang mendampingi rekan-rekannya yang masih di belakang.

Tidak ada pilihan lain, dia harus menyeberangi jembatan dari tiga tali yang membentang panjang di atas jurang setinggi ratusan meter.

Para pendaki dituntut berjalan di atas satu utas tali, sedangkan dua tali lainnya berfungsi sebagai tempat pegangan dan pengait carabiner yang terhubung dengan pita webing dan harness yang wajib dikenakan oleh semua pendaki.

Handoko mengaku, selain jembatan tiga tali, ada juga pilihan menyeberang dengan menggunakan teknik tryrolean traverse, yakni penyeberangan dengan bergelayut pada tali yang membentang dari satu sisi tebing ke sisi seberangnya.

Di Cartensz, sudah ada kawat yang dipasang permanen untuk penyeberangan tyrolean maupun jembatan tiga tali dengan jarak penyeberangan sekitar 15 meter.

"Bila hanya berdiam diri sambil menunggu teman-teman lain, kondisi tubuh saya akan semakin dingin dan kaku karena sarung tangan dan jaket sudah basah semua, dan ini justru berbahaya. Mau tidak mau, saya harus terus bergerak dan menyeberangi sendiri jembatan tiga tali hingga ke puncak," tuturnya.

Setiba di puncak tertinggi Indonesia tersebut, aktivis Perhimpunan Kanal Ambon ini disambut udara dingin dengan suhu minus 3 derajat Celsius. Saat itulah kali pertama ia merasakan sensasi hujan salju.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com