Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keluarga Petani Terus Berkurang, Generasi Muda Tak Lagi Tertarik

Kompas.com - 20/01/2017, 20:13 WIB

BANDUNG, KOMPAS — Keluarga petani terus berkurang karena sebagian besar generasi muda pedesaan tidak tertarik mengembangkan pertanian. Usaha tani, selain tidak "bergengsi", juga kerap tidak menguntungkan karena pasarnya tidak pasti. Kondisi ini memprihatinkan karena pada gilirannya akan mengancam ketersediaan pangan.

"Jika ini dibiarkan, kami khawatir ketergantungan bangsa terhadap produk pangan impor akan makin tinggi," kata Ketua Swadaya Petani Indonesia (SPI) Eep Supendi M (45) di Bandung, Kamis (19/1/2017).

Eep yang bergerak dalam komunitas petani mengatakan, dalam 10 tahun terakhir, secara nasional, keluarga petani berkurang lebih dari 5 juta.

Menurut dia, budidaya pertanian di pedesaan bukan perkara mudah karena banyak kendala. Contohnya, penggunaan pupuk penyubur sintetis (kimia) yang selama ini digunakan petani kini tidak cukup 100 kilogram untuk 1 hektar lahan.

"Malah, petani di Indramayu ada yang harus menggunakan 800 kg pupuk untuk 1 hektar tanaman padi. Penggunaan pupuk yang terus-menerus tanpa jeda menyebabkan tanah tak gembur lagi," ujarnya.

Tanah sawah yang terus menerus menerima pupuk kimia akan menjadi keras karena bahan pupuk ini menggunakan pengikat seperti bahan baku semen. Banyak mikroba yang menjadi penyubur tanaman alami mati termasuk predator-predator hama tanaman. Akibatnya, usaha tani berbiaya tinggi, sedangkan produksi relatif rendah.

Di lain pihak, saat panen harga jual sering jatuh karena pasokan di pasar melimpah. Petani tidak memiliki kemampuan menjual hasil panennya sehingga produk mereka jatuh ke tengkulak dengan harga rendah.

Tata niaga komoditas pertanian berpuluh tahun tidak menghasilkan harga yang adil bagi petani produsen. Pantauan SPI, untuk sayuran, harga di Pasar Induk Caringin di Kota Bandung rata-rata lima kali lipat harga yang dibeli tengkulak dari petani di sentra sayur di Garut. "Ketika harga cabai Rp 100.000 per kg, harga di petani hanya Rp 20.000 per kg," kata Eep.

Pertanian organik

Berbagai upaya dilakukan komunitas SPI agar petani bisa mandiri dan langsung bisa menjual hasil panennya ke pasar. Hal itu misalnya melembagakan pertanian organik di sentra-sentra produksi pertanian khususnya di Jabar. Pada 16 Januari lalu, misalnya, digelar sarasehan membangun ekonomi umat melalui pertanian organik di wilayah Garut.

Sarasehan ini diselenggarakan untuk membuka wawasan tentang bagaimana memberdayakan masyarakat melalui pertanian organik dengan pola muamalah syariah. Sigit Iko Sugondo dari Lembaga Amil Zakat Al-Azhar Peduli Ummat mengatakan, konsep muamalah syariah berhasil memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat melalui pertanian organik di berbagai daerah.

Imam Subchan, pegiat koperasi Mitra Malabar Kabupaten Bandung, menjelaskan, petani penting bergabung dalam wadah seperti koperasi untuk menumbuhkan semangat berbagi dalam kelompok. Sebab, kebersamaan dan mau berbagi merupakan modal awal kebangkitan ekonomi masyarakat.

Mereka lalu membentuk Bumi Organik Garut sebagai lembaga nirlaba yang menjadi konsorsium para pemangku kepentingan pertanian Garut. Lembaga ini berfungsi mengembangkan ide dan kebijakan-kebijakan, menyatukan dan menyinergikan potensi dan relasi yang ada untuk kemajuan pertanian organik khususnya di Garut.

Sementara itu, TNI melanjutkan program cetak sawah di Kalimantan Selatan dalam rangka mendukung ketahanan pangan. Target cetak sawah tahun ini seluas 1.500 hektar.

"Program cetak sawah ini tersebar di beberapa kabupaten, yaitu Kotabaru, Tanah Bumbu, Tabalong, Hulu Sungai Selatan, dan Tapin," kata Komandan Korem 101/Antasari Kolonel (Kav) Yanuar Adil di Banjarmasin, Kamis. (dmu/JUM)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Januari 2017, di halaman 22 dengan judul "Keluarga Petani Terus Berkurang".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com