Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siswa-siswi SD Ini Tetap Semangat Belajar dengan Kondisi Terbatas

Kompas.com - 08/12/2016, 16:34 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Dua orang guru perempuan sedang membagikan soal ulangan kepada muridnya. Muridnya tidak banyak, hanya kurang dari 10 orang.

Dengan tenang, siswa-siswi itu mengerjakan tugas di satu ruangan kelas yang disekat dengan tripleks di bagian tengah agar kegiatan belajar-mengajar mereka tidak terganggu.

Seperti itulah kondisi SD Negeri 5 Singonjuruh, Kampung Wilut, Dusun Kunir, Desa Singonjuruh, Kecamatan Singonjuruh, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kondisinya sangat sederhana dengan jumlah siswa sedikit.

"Hanya ada tiga (ruang) kelas di sekolah ini. Jadi ya setiap kelas harus diberi sekat agar tidak terganggu. Kadang jika ada guru yang tidak masuk, satu guru mengajar dua kelas sekaligus," jelas Pelaksana Tugas Kepala SD Negeri 5 Singonjuruh Hiklima (49) kepada Kompas.com, Kamis (8/12/2016).

Tiga ruangan kelas tersebut tampak sangat layak digunakan setelah mendapatkan bantuan rehabilitasi pada 2011.

Untuk kantor, para guru memanfaatkan rumah dinas yang kondisinya sangat memprihatinkan dengan bagian plafon jebol dan bocor saat hujan.

"Kalau hujan, ya kami harus seret-seret buku dan berkas agar enggak basah kena hujan," kata Hiklima.

Ruangan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) pun menggunakan satu kamar di rumah dinas yang sudah tidak dimanfaatkan karena dindingnya sudah retak. Kamar mandi hanya ada satu dan digunakan ketika ada tamu.

Pada saat ujian seperti hari ini, guru jaga seharusnya berasal dari sekolah lain. Namun, karena hujan dan medan menuju ke sekolah tersebut berlumpur, maka mereka memutuskan untuk menjaga sendiri murid-muridnya.

"Sudah ada kesepakatan, kasihan kalau guru luar datang ke sini. Medannya luar biasa susah, apalagi kalau hujan. Mereka tidak terbiasa dengan kondisi jalan berbatuan terjal yang licin," jelasnya.

Total ada 25 siswa dari kelas I hingga kelas VI. Siswa kelas I sebanyak lima orang, kelas II enam orang, empat siswa kelas III, kelas IV dan V masing-masing tiga orang, dan kelas VI sebanyak empat orang.

Adapun jumlah guru sebanyak enam orang, tiga di antaranya adalah pegawai negeri sipil termasuk Hiklima. Hiklima baru diangkat sebagai guru PNS pada 2008 dan langsung ditempatkan di SDN 5 Singonjuruh.

Sebelumnya ia mengajar di TK Dharma Wanita selama hampir 20 tahun. Setahun terakhir ini ia ditunjuk sebagai Plt Kepala Sekolah.

Walaupun jumlah siswanya sedikit, keberadaan sekolah yang berdiri sejak 1980 itu sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di tengah persawahan dan perbukitan.

Menurut Hiklima, jarak sekolah lain cukup jauh jika ditempuh oleh anak-anak SD. Bahkan salah satu muridnya yang masih kelas I harus berjalan kaki melewati area persawahan sejauh hampir 2 kilometer untuk mencapai sekolah.

"Saya tidak bisa bayangkan jika sekolah ini ditutup, gimana mereka dapat sekolah," jelasnya.

Para guru kadang kala harus mendatangi rumah muridnya agar mereka bersemangat ke sekolah.

Setyo Utomo (57), salah satu guru SDN 5 Singonjuruh, mengatakan, hampir 60 persen muridnya tidak tinggal bersama dengan bapak dan ibunya, tetapi tinggal bersama nenek dan kakeknya atau keluarga lain.

Hampir sebagian besar orangtua murid merantau ke Bali dan hanya pulang setahun sekali saat Lebaran.

"Bisa dibayangkan, mereka kurang kasih sayang dan ya ke kami-kami inilah mereka manja. Sudah tidak ada jarak lagi, bukan lagi seperti guru dan murid, tapi seperti anak sendiri," kata satu-satunya guru laki-laki di sekolah tersebut.

Untungnya, dua guru lain pernah mengajar di taman kanak-kanak sehingga lebih sabar menghadapi murid-murid tersebut. Tidak jarang, ada wali murid yang menitipkan anaknya yang masih berumur lima tahun agar bisa sekolah karena tidak ada pendidikan usia dini dan TK di sekitar Kampung Wilut.

"Ya, kami terima saja karena ini kan untuk pendidikan. Biasanya tidak kami naikkan hingga umurnya cukup," jelasnya.

Setyo bercerita, pernah ada doa bersama menjelang ujian akhir sekolah, tetapi tidak ada satu pun siswa dan wali murid yang datang. Para guru harus menunggu sejak sore sampai pukul 19.00.

"Waktu itu kami tetap menunggu sampai malam hari karena memang kondisinya hujan. Tapi ya kami memakluminya karena nenek dan kakeknya ya sudah tua, tidak mungkin mengantarkan ke sekolah saat hujan," ceritanya.

Walaupun sekolah tersebut minim fasilitas, Setyo mengaku tetap mengikutkan siswanya pada kegiatan-kegiatan di luar sekolah, seperti gerak jalan, olimpiade, atau lomba-lomba lain.

Hal tersebut dilakukan agar anak-anak lebih percaya diri dan tidak minder dengan keadaan mereka.

"Kalau ditanya, dari mana biayanya? Ya, biaya sendiri dari iuran guru-guru," katanya.

Selama 16 tahun mengajar di SD tersebut, Setyo mengaku sudah ada perubahan tingkat pendidikan di Kampung Wilut. Awalnya hampir sebagian siswa yang lulus SD, tidak sekolah, atau sudah sekolah sampai SMP.

Dalam 10 tahun terakhir, anak-anak di sana melanjutkan sekolah SMP dan lulus. Ada juga yang SMA.

"Saya sebagai guru sudah sangat bahagia melihat anak-anak semangat melanjutkan sekolah. Saya bilang mereka harus yakin untuk melanjutkan sekolah yang tinggi dan mewujudkan cita-cita mereka," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com