Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dedi Mulyadi
Anggota DPR RI

Pernah menjadi tukang ojek, penjual beras, hingga peternak domba. Mantan Bupati Purwakarta yang kini anggota DPR RI.

Akhlak Pemimpin dan Demokrasi

Kompas.com - 28/11/2016, 10:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Jika dilihat dari sudut pandang etimologi, maka kita akan menemukan bahwa ‘akhlak’ berasal dari bahasa Arab berjenis jamak yakni kata ‘khuluqun’ yang dapat diartikan sebagai adat kebiasaan (al ‘adat), perangai atau tabi’at (al sajiyyat), watak (al thab), adab atau sopan santun (al muru’at) dan bahkan agama (al din).

‘Khuluqun’ juga memiliki persesuaian dengan kata ‘Khalqun’ yang memiliki makna kejadian, serta memiliki kaitan erat dengan kata ‘Khaliq’ yang berarti pencipta dan ‘Makhluq’ yang berarti sesuatu yang diciptakan.

Uraian di atas menunjukkan makna akhlak dari segi ilmu berdasarkan rujukan keilmuan. Dalam pemahaman saya, akhlak memiliki dua dimensi yang meliputi dimensi rohani yang bersifat privasi menyangkut hubungan makhluk dengan Khaliknya, dan dimensi kedua bersifat sosial, meliputi hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam yang ditinggalinya serta manusia dengan makhluk lainnya.

Pemimpin berakhlak tentunya merupakan dambaan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Tetapi ada kecenderungan sebagian pihak hanya menitikberatkan akhlak ritual sebagai tolok ukur kesalehan pemimpin, sedangkan akhlak sosial yang memiliki dampak langsung bagi kehidupan sosial masyarakat seringkali tidak mendapatkan perhatian yang semestinya.

Pemkab Purwakarta Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menggendong seorang anak yang sakit dan membawanya ke rumah sakit
Ketika pasien miskin meninggal di perjalanan karena ditolak oleh rumah sakit, ketika jenazah dibawa pulang dengan digendong karena tidak ada seorangpun yang peduli, atau ketika si miskin memakan nasi aking karena tidak mampu membeli beras, seolah bukan aib akhlak pemimpin yang memiliki tanggung jawab sosial.

Secara kasat mata kita melihat akrobat gunung-gunung dirambah oleh pengusaha properti dan perhotelan, lereng berubah menjadi perkebunan sayur, seolah bukan dosa besar yang harus ditanggung oleh pemimpinnya karena tidak mampu menjaga alam yang dititipkan oleh Tuhan untuk merawat dengan kearifan kebijakan yang bersendikan Qadha dan Qadar sebagai sendi utama keimanannya.

Pada saat musibah turun, tak ada kesadaran bahwa seluruhnya terjadi karena kefatalan kebijakan, tetapi sebaliknya dengan penuh kesalehan mengatakan bahwa musibah yang terjadi semata-mata cobaan dari Tuhan yang harus dihadapi dengan kesabaran.

Tak ada gelombang protes yang berisi gugatan karena kesalahan pemimpin yang gagal dalam mengelola lingkungan dan kerakusan kelompok orang atas nama ekonomi dan kesejahteraan.

Padahal orang yang memiliki kekuatan spiritual sudah semestinya membangun keadilan sosial, karena watak cinta yang dimiliki dan dilandasi oleh nilai ketuhanan akan melahirkan sifat merawat, menjaga dan memelihara pada makhluk ciptaan-Nya dengan penuh kasih sayang.

Adalah sebuah ironi apabila kita mencintai Tuhan tetapi melakukan perusakan atas nama ekonomi, politik, kekuasaan, bahkan atas nama Tuhan itu sendiri.

Pemkab Purwakarta Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi membawa beras bantuan saat terjadi banjir
Seiring dengan perjalanan hidup demokrasi, semua orang mendambakan terlahirnya seorang pemimpin yang memiliki kesempurnaan akhlak, baik kesempurnaan akhlak ritual maupun kesempurnaan akhlak sosial.

Ibarat seorang perempuan yang selalu mendambakan jodoh seorang calon suami yang sempurna, ya tampan ya rajin bekerja.

Namun kadang-kadang yang harus dipilih tidak sesuai dengan harapan, ada yang tampan tetapi malas, ada yang rajin bekerja tetapi wajahnya pas-pasan, lebih parah lagi bila sudah malas dan wajahnya pas-pasan.

Kalau sudah begini, lantas anda mau pilih yang mana? Kalau saya sendiri saya tidak akan memilih ketiga-tiganya, karena saya seorang laki-laki normal yang sudah beristri, kan tidak mungkin harus memilih calon suami...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com