Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masih Adakah Penutur Bahasa Bulango di Provinsi Gorontalo?

Kompas.com - 28/10/2016, 15:30 WIB
Rosyid A Azhar

Penulis

Kebijakan lain yang ditempuh agar bahasa ini tidak segera punah adalah menjadi pelajaran di sekolah melalui materi Muatan Lokal (Mulok).

Makin meredupnya bahasa Bulango di Gorontalo ini dapat dijelaskan melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasanuddin, Rusli Manorek, Pitres Sombowadile dan Fendy Parengkuan dari Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado.

Penelitian ini mengungkapkan, bangsa Bulango adalah bangsa pengembara yang berasal dari Batang Dua, di pulau Mayau dan pulau Tifure. Dengan alasan keamanan, kemudian bermigrasi di Pulau Lembeh, Sulawesi Utara.

"Informasi ihwal eksistensi Bolango sejak di pulau Lembeh sekitar tahun 1335 sangat minim, apalagi jika hendak menelisik ke belakangnya lagi di Pulau Batang Dua dan seterusnya," kata Rusli Manorek.

Ada pendapat lain yang ditulis BJ Haga dalam "Gorontalo (Limo Lo Pohalaa)" yang menyebutkan asal kelompok ini dari wilayah Suwawa.

Masuknya Bangsa Bulango ke Gorontalo merupakan migrasi besar keempat yang mereka lakukan. Pada masa ini, Bangsa Bulango berada dalam pimpinan Raja Daopeyago, Pasuma, Thitingio, Mogolaingo II dan  Sangian Datu.

Mereka masuk ke wilayah kerajaan Suwawa, Limboto, Gorontalo dan secara khusus ke Tapa.

BPNB mengungkapkan, pada 1673, olongia Gorontalo Eyato meminta Raja Bulango Mogulaingo dan sukunya untuk menetap di Gorontalo. Mereka membangun pemukiman di Tapa dan berkembang menjadi kerajaan.

Saat pengaruh VOC makin kuat, raja-raja dalam persekutuan lima kerajaan (Limo Lo Pohalaa), termasuk Bulango, terpaksa mengakui kekuasaannya dalam kontrak 5 September 1730. VOC mewajibkan penyerahan emas dan memonopoli komoditas ini.

"Ini diperkuat oleh Gubernur Maluku Garardus van Blokland yang memanggil Raja Gorontalo dan Limboto ke Ternate pada awal Maret 1746. VOC juga membangun benteng di Gorontalo pada 19 Maret tahun itu," jelas Rusli Manorek.

Tekanan politik dan fisik ini membuat Raja Bulango merasa dilecehkan. Pemerintah Hindia Belanda sudah mencampuri urusan politik yang mengikat Raja Bulango menanam kopi, menyerahkan emas, dan monopoli perdagangan di wilayah kerajaan.

"Perjanjian 7 Pebruari 1829 memaksa Raja Bolango mengakui Belanda sebagai tuannya. Saat itu terjadi masalah besar karena Belanda memaksa penduduk menyerahkan emas secara langsung," jelas Rusli.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com