Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ingin Hak Politik Kaum Difabel Lebih Diperhatikan, Penyandang Tunanetra Ini Bercita-cita Jadi Anggota KPU

Kompas.com - 28/10/2016, 09:09 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

"Padahal satu angkatan itu 90 an mahasiswa dan mereka normal. Hanya dua yang kebutuhan salah satunya saya. Dan di antara mereka tidak ada satu pun yang memberitahu saya untuk absen tanda tangan. Ya mungkin karena kita belum akrab kan masih mahasiswa baru," jelasnya.

Ia mengaku bercita-cita ingin menjadi seorang anggota KPU karena selama ini tidak pernah ada anggota KPU baik pusat, provinsi ataupun daerah yang berasal dari mereka yang berkebutuhan khusus padahal sebagai warga negara, mereka juga mempunyai hak yang sama.

Selain itu, ia juga menilai selama ini saat pemilihan umum masih belum ada keberpihakan kepada mereka yang berkebutuhan khusus.

Ia mencontohkan saat mengikuti coblosan pemilihan umum, dia didampingi tapi yang melakukan pencoblosan bukan dirinya.

"Saya sempat protes kenapa bukan saya yang nyoblos. Apalagi kertas suara yang digunakan tidak menggunakan braille sehingga saya tidak tahu apakah yang di coblos sesuai dengan pilihan saya atau tidak. Itu alasan saya ingin jadi anggota KPU agar hak-hak politik kami yang berkebutuhan khusus tidak diabaikan," katanya.

Memijat dan mendaki gunung Ijen

Untuk mencukupi kebutuhan hidup selama kuliah di Surabaya, Ninis mengaku tidak mengandalkan kiriman uang dari orang tuanya. Dia bekerja paruh waktu sebagai pemijat di akhir pekan ketika kuliah sedang libur. Ilmu baru tersebut ia pelajari dari persatuan tuna netra di Surabaya.

"Lumayan satu hari bisa empat sampai lima pelanggan. Mulai pijat capek-capek sampai keseleo. Biasanya saya ke tempat pelanggan menggunaka jasa ojek online. Kalau promosinya ya dari mulut kemulut. Mereka menghubungi saya lewat handphone ya telpon, Whatsapp, BBM. Alhamdulilah banyak yang cocok," ujarnya.

Walaupun sudah pindah ke Banyuwangi, Ninis mengaku juga sudah memilik pelanggan tetap walaupun tidak sebanyak saat di Surabaya. Biasanya dia mendapatkan bayaran Rp 50.000 sampai Rp 75.000 untuk sekali pijat.

Keahlian memijat tersebut rencananya akan ia tularkan di rekan rekannya sesama tuna netra yang ada di Banyuwangi.

Ia sendiri sudah survei lokasi di depat Pelabuhan Ketapang Banyuwangi sebagai tempat belajar. "Semoga secepatnya segera terealisasikan, Memijat bagi tuna netra adalah ilmu yang mudah dipelajari hanya perlu wadah agar tersalurkan," jelasnya.

Ninis kembali ke Banyuwangi pada pertengahan tahun 2016 setelah menyelesaikan skripsinya yang mengambil tema pembuatan telur asin terhadap keterampilan anak-anak tuna netra.

"Agak telat lulusnya masuk kuliah 2010, lulus Maret 2016 karena saya belum menemukan reader pembaca buku untuk teori skripsi. Beruntung ada adik kelas yang bantu untuk membacakan," kenangnya.

Untuk membuktikan bahwa tuna netra tidak menjadi halangan untuk beraktivitas, Ninis mendaki Gunung Ijen ditemani tiga rekan perempuannya. Walaupun tidak bisa melihat, Ninis bisa merasakan jika pemandangan Gunung Ijen sangat indah.

"Teman-teman saya yang menggambarkan dan saya merasakan udara yang segar, sinar matahari dan aroma belerang. Membuat saya kecanduan untuk naik gunung lagi dan berbuat hal lain yang menunjukkan bahwa saya bisa melakukan hal lain lagi," katanya sambil tersenyum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com