Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jamasan Pusaka Sunan Pandanaran, Sederhana dan Syarat Makna

Kompas.com - 12/10/2016, 06:37 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir

Penulis

Larangan itu berupa jala tunda jala niti, jala sutra apa mengko apa saiki, apa ora sida. Nek kepengin selamet, kudu tansah nerima ing pandum, aja cidra ing janji.

"Kalau terjemahan saya, intinya jadi orang harus konsisten, jangan ragu-ragu, tapi harus terimo ing pandum (menerima apa pun pemberian Tuhan). Kalau rezekinya banyak, keluarganya baik, jangan mentang-mentang," kata Mundjirin.

Mundjirin berpendapat bahwa kegiatan ini merupakan ritual budaya belaka. Menurut dia, manusia tidak boleh menyandarkan sesuatu kepada benda-benda, tetapi harus kepada Tuhan Yang Maha Esa.

"Jangan menyembah pusaka, tapi menyembahlah pada Tuhan," kata dia.

Pusaka yang hilang

Mundjirin tidak hafal berapa jumlah dan jenis pusaka yang tersimpan di pendopo rumah dinasnya di Jalan Ahmad Yani, Ungaran ini. Namun, ada satu keris yang seharusnya ada di antara pusaka-pusaka yang dijamas ini, tetapi keris tersebut raib.

Upaya penelusuran terhadap keberadaan keris tersebut pernah dilakukan, namun hingga kini tidak ada kejelasan.

"Dulu ada yang bilang, waktu pindahan dari kotamadya (Semarang) ke sini (Kabupaten Semarang), dipinjam oleh Pak Wali Kota. Waktu itu beliau sakit, habis itu ke mana kita tidak tahu," kata dia.

Ketua Paguyuban Tosan Aji Gedongsongo Sutikno mengatakan sudah lama mengusulkan untuk mencari pusaka pinunjul tersebut karena tidak sembarang orang boleh memiliki atau memakainya.

"Namanya Keris Sengkelat luk (lekuk) 13. Itu sebetulnya keris pinunjul untuk seorang pemimpin. Kami sempat menginginkan untuk dipundut (diambil) dan diposisikan di Kabupaten Semarang. Namun, sampai sekarang belum ada realisasi yang serius," kata Sutikno.

Prosesi penjamasan pusaka sebagaimana lazimnya dalam tradisi Jawa selalu diakhiri dengan kirab. Namun kali ini, para pemangku budaya di Kabupaten Semarang menempuh cara lain, yakni menggelar sarasehan budaya bertajuk "Membumikan Bahasa Ibu".

Juru kunci pusaka Pemkab Semarang, Edy Sukarno, mengatakan, kesempurnaan sebuah jamasan pusaka dimulai dari mutih, marangi, njamasi dan berakhir dengan sebuah kirab merupakan sanepan atau kritik halus terhadap diri pribadi.

"Konteksnya sarasehan ini karena kita ingin membumikan bahasa ibu, maka ini membasuh niat semua yang hadir dan niatnya hanya satu, yakni budaya," ujarnya.

Selain sarasehan budaya yang diharapkan membuatkan tekad untuk kembali membumikan bahasa ibu, prosesi kirab yang menjadi paripurnanya jamasan ini dikemas dalam sebuah aksi nyata dengan mendirikan posko-posko atau sekolah gratis berbahasa Jawa.

"Sekolah ini nonformal untuk anak-anak, kita pilih di rumah-rumah relawan. Membumikan bahasa ibu ini bagian dari revolusi mental," kata Edy.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com