Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyusuri Jejak Para Penulis Fiksimini Bahasa Sunda

Kompas.com - 06/10/2016, 00:46 WIB

Paris Van Java, Sabtu sore di hari pertama bulan Oktober. Hujan sejak siang membasahi pusat kota. Kemacetan lalu lintas pun terjadi nyaris di seluruh wilayah. Mereka yang tidak punya kepentingan akan merasa segan untuk ke luar rumah.

Para anggota Fiksimini Basa Sunda (FBS), yang hari itu akan mengadakan acara Cuang Lawung (Cula=temu kangen) ke-5 sekaligus merayakan Milangkala atau ulang tahunnya kelima, berupaya memenuhi jalanan ikut antrian macet. Dengan tekad bulat serta keinginan untuk segera sampai di Taman Budaya, Dago Atas, tempat akan diselenggarakannya perayaan ulang tahun ini, akhirnya satu persatu tiba di lokasi. Kemacetan jalanan tidak berarti apa-apa, hujan pun bukan suatu halangan untuk mewujudkan keinginan bertemu sesama penulis yang terhimpun pada komunitas penulis FBS.

Sampai di Teater Terbuka, Taman Budaya, tempat acara diselenggarakan, ratusan orang sudah duduk rapih di kursi beton yang disediakan pemilik tempat. Hebatnya, tidak ada setetes pun air hujan yang membasahi tempat acara.

Tepat jam 16.00 WIB, acara dimulai dengan diskusi sastra yang mengambil tema “Sastra Kertas vs Sastra Digital”. Pembicara pada sesi diskusi ini adalah DR. Hawe Setiawan yang kesehariannya sebagai staf pengajar di Universitas Pasundan, Cecep Burdansyah, Pemimpin Redaksi Koran Tribun Jabar, serta Dadan Sutisna, sastrawan Sunda dengan dimoderatori oleh Nazarudin Azhar, sastrawan Sunda sekaligus pendiri FBS.

Pada forum diskusi sastra ini semua pembicara sepakat bahwa karena sastra kertas usianya sudah 2 ribu tahun sedangkan sastra digital baru berusia 10 hingga 15 tahun, jadi susah untuk dibandingkan. Sastra digital pun sangat tergantung pada kemampuan penguasaan teknologi pelakunya, karena memang sangat tergantung pada teknologi. Jadi tidak aneh kalau pembaca media cetak yang beralih ke media digital jumlahnya hanya sekitar 1% saja. Data inididukung oleh hasil riset AC Nielson.

Kesimpulan akhir dari diskusi ini adalah sastra digital baru mencapai tahap alternatif, bukan sebagai tujuan. Karena bagaimana pun hasil karya sastra yang lahir dari teknologi digital baik yang ada di Facebook, Web, Blog atau Webmail, pada akhirnya akan dicetak entah dibuat buku atau diterbitkan di media cetak.

Udara Bandung Utara terasa dingin menusuk, gerimis mulai turun ketika acara diskusi ditutup, tepat menjelang adzan magrib berkumandang. Bagaimana pun, sekitar 500 peserta yang terdiri dari para penulis FBS, seniman dan sastrawan Sunda serta para mahasiswa dari beberapa universitas merasa cukup terpuaskan dengan acara diskusi ini.

“City of light”. Bandung yang indah dengan gebyar lampunya diantara rintik gerimis, menjadi latar panggung yang romantis. Penonton pun kian berdatangan terus hingga kursi yang disediakan untuk 1.500 orang nyaris penuh. Begitulah saat pagelaran kesenian dimulai selepas Isya.

Ada yang luar biasa pada pagelaran kesenian yang menjadi puncak acara perhelatan ini. Dibuka dengan gaya pantun. Pantun milenium namanya. Seni pantun yang disuguhkan oleh Suara Langit Choir, hasil kreasi Bambang Arayana Sambas, salah seorang sutradara terkenal di Jawa Barat yang dibantu oleh sejumlah seniman dan kreator panggung terkenal seperti Sis Triadji, Dindin Rasidin, Herman Effendi, Ki Ihin, sastrawan Hadi AKS serta sastrawan budayawan sunda terkenal Godi Suwarna.

Pantun milenium ini rupanya bukan saja menjadi pembuka acara, akan tetapi juga menjadi pengantar acara berikutnya, menggantikan fungsi pembawa acara. Bagi penikmat seni yang hadir pada saat itu, gaya menyampaikan pesan melalui pantun ini terasa jauh lebih menyerap dan berbaur dengan suasana batin yang romantis.

Pentas pertama yang mengisi acara adalah Komunitas SMKN 10 Bandung. Sendratari yang menawarkan keindahan gerak serta harmonisasi irama gamelan dengan nama Prosesi Alit. Disambung oleh penampilan Sanggar Seni Pakuan dari Bogor, menyihir penonton untuk tidak beranjak dari tempat duduknya.

“Itu saya namakan ‘Prosesi Alit’! Mencoba mengungkapkan tentang hakikat bahwa budaya adalah anugrah Sang Maha Pencipta yang harus kita jaga dan kita kembangkan selaras dengan perubahan jaman. FBS adalah bagian penting dari budaya Sunda, maka seyogyannya menjadi ujung tombak dan berdiri sebagai garda terdepan dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Sunda selaras dengan tema Cula/Milang Kala ‘Napak Lemah Titincakan Ngapak Luhur Pangapungan’ yang artinya terbanglah setinggi mungkin tanpa melupakan jatidiri budaya sendiri!” Kata sang sutradara, Bambang Arayana Sambas yang didampingi koreografer Dedi Sundara, komposer Una Dairry Bayanullah, karawitan arranger Maman Jendral serta artistik Budi Riyanto.

Penampil berikutnya adalah Rampak Bedug Ciwasiat dari Pandeglang, Banten. Kehebohan kembali terjadi, tatkala kesenian di bawah asuhan Rohendi Pandeglang ini menyuguhkan atraksi nabuh bedug. Sebuah kreasi suguhan Kelompok Seni Ciwasiat yang sudah banyak melanglang buana ke mancanegara.

Berikutnya, sastrawan Godi Suwarna membacakan sajak Blues Kere Lauk. Gaya khasnya yang memukau penonton kian menggairahkan udara malam Bandung yang kian dingin. Sastrawan Hadi AKS yang membacakan fiksimini karyanya yang diikuti para fikminator membacakan fiksimininya masing-masing menambah hangatnya suasana. Ada pula yang mendramatisasi fiksimini menjadi suguhan tontonan dengan format drama. Tentu saja diantara satu acara ke acara berikutnya selalu disatukan oleh pantun khas Suara Langit Choir.

Tidak ada pesta yang tidak berakhir, begitu pepatah mengatakan. Demikian pun halnya dengan perhelatan Cula dan Milangkala kelima FBS, harus diakhiri menjelang tengah malam.

Siapa bisa menyangka kalau sebuah komunitas seprti FBS ini mampu menyuguhkan hiburan bermutu bukan saja untuk anggotanya, tetapi juga untuk para penikmat seni serta masyarakat yang masih mencintai kesenian daerah. “Sebelum membuat grup di Facebook, saya paling membuat fiksimini dan dibuat di status (Facebook),” terang Nunu, sapaan akrab Nazarudin Azhar yang menggagas FBS.

Saat ini komunitas penulis Fiksimini Basa Sunda memiliki 14 ribu anggota yang tersebar di berbagai negeri di seluruh dunia. Sedangkan anggota yang aktif tercatat tidak kurang dari 2.000 anggota. Naskah yang berhasil dihimpun hingga saat ini sejumlah 63.149 judul.

“Dalam sehari ratusan orang bisa mendaftar menjadi anggota grup FBS. Di grup, mereka bisa membagi karya dan membagi ilmu mengenai fiksimini."Ini menarik minat banyak orang sehingga sampai dirayakan seperti ini," ungkap Nunu.

Ketika hujan reda di separuh malam minggu itu, ribuan langkah kaki mulai menjauhi Taman Budaya, Dago, tempat dimana baru saja dilangsungkan perhelatan akbar dari komunitas penulis Fiksimini Basa Sunda. Dalam setiap langkah para penonton, semuanya menyisakan jejak-jejak kaki di rumput dan tanah basah. Sesampainya di rumah masing-masing, jejak langkah itu akan diistirahatkan sebentar untuk kemudian dijemput lagi hingga tiba masa depan.

(Deni Riaddy, pegiat fiksimini basa sunda, Admin FBS/JY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com