Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlahan Mengatasi Trauma Anak-anak Korban Banjir Garut

Kompas.com - 28/09/2016, 16:35 WIB

KOMPAS.com - Duduk di bangku paling depan ruang guru Sekolah Luar Biasa B Negeri Garut, Zaki (9) antusias menceritakan air bercampur lumpur yang masuk ke rumahnya di Desa Sukakarya, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat, enam hari lalu. Tubuh gempal siswa kelas IV itu bergetar setiap kali menceritakan kisah kelam tersebut.

Menyandang tunarungu, Zaki tidak kesulitan berkisah. Dua tangannya fasih bercerita. Telapak tangan kanannya tegak lurus. Sementara telapak tangan kiri rebah tepat di tengah-tengah tangan kanan. Telapak tangan kirinya naik turun menggambarkan laju aliran air.

Tak lama kemudian, ia menyatukan ujung kedua telapak tangannya membentuk segitiga. Bentuknya seperti atap rumah. Isyarat itu dikombinasikan dengan gerakan orang yang sedang menyapu dan mengepel lantai.

"Dia mengatakan rumahnya kebanjiran banjir lumpur. Hingga hari ini ayahnya masih membersihkan rumahnya," kata Lilis Dewi Mulyani, wali kelas Zaki, menjelaskan arti bahasa isyarat yang disampaikan Zaki.

Begitulah suasana hari pertama di SLB B Negeri Garut, Senin (26/9). SLB ini menjadi satu dari 15 sekolah yang dihantam banjir bandang pada Selasa (20/9). Lima hari terakhir, kegiatan belajar-mengajar di sana dihentikan. Siswa diliburkan sementara karena sekolah harus dibersihkan dari lumpur.

Veronica Siti Haryati, guru SLB B Negeri Garut lainnya, mengatakan, selain perpustakaan yang hancur, alat bantu pengajaran seperti 10 mesin jahit dan laboratorium pendengaran rusak akibat terendam air berlumpur. Bahkan, fasilitas Program Pengembangan Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama, satu-satunya di Kabupaten Garut, rusak dan belum bisa dipakai lagi.

Kegiatan belajar-mengajar di SMP Negeri 3 Garut juga lumpuh. Sebanyak 30.000 buku pelajaran hancur dan puluhan komputer tak bisa dipakai lagi.

Kepala SMPN 3 Haliman mengatakan, bukan sekadar kerugian fisik yang harus dibenahi, ada 123 siswa yang butuh pendampingan. Mereka adalah korban langsung banjir bandang. Ada yang rumahnya terendam air, ada juga yang kehilangan anggota keluarga. "Kami akan memberikan pendampingan psikologis lebih lanjut bagi mereka. Minimal agar mereka mau terus sekolah," katanya.

Salah seorang korban banjir dari SMPN 3 adalah Dimas Oktaviansyah (14), siswa kelas VII. Rumahnya di Lapangan Paris, Desa Sukakarya, hancur berantakan. Ia dan ayahnya berhasil menyelamatkan diri. Namun, ibu dan dua adiknya tak selamat. Mereka tewas tertimbun lumpur dan material luapan Sungai Cimanuk.

Dimas mengatakan, bayang-bayang ibu dan dua adiknya masih sering menyapa dalam tidurnya. Meskipun begitu, ia tak ingin larut dalam kesedihan. Dimas ingin sekolah untuk menuntaskan cita-citanya menjadi tentara seperti kakeknya. Kini Dimas tinggal bersama pengungsi di Rumah Susun Cilawu, Garut.

Siswa SMPN 3 lainnya, Syifa Jamilatul Millah (14), mengatakan, dirinya masih trauma setiap turun hujan deras. Kenangan banjir lumpur yang menghancurkan rumahnya belum bisa dilupakan. Warga Lapangan Paris Dalam, Desa Sukakarya, itu berharap perlahan bisa melupakan kenangan buruk itu.

"Teman-teman di sekolah ikut menghibur hati saya. Semoga kejadian ini tidak terjadi lagi," kata Syifa menutup pembicaraan. Air matanya menetes meratapi kisah sedihnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com