Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Dewi Suryana: Beli Lauk Seadanya demi Kuliah di Singapura (3)

Kompas.com - 21/09/2016, 06:02 WIB
Ericssen,
Laksono Hari Wiwoho

Tim Redaksi

SINGAPURA, KOMPAS.com - Tidak mudah bagi Dewi Suryana untuk menyelesaikan kuliah di Singapura. Selain jauh dari orangtuanya di Pontianak, Kalimantan Barat, Dewi juga harus berhemat dan banting tulang untuk bertahan hidup di sana.

Dibesarkan di tengah keluarga sederhana, sejak kecil Dewi ditempa dengan beratnya hidup. Karena penghasilan orangtuanya yang pas-pasan, Dewi selalu berusaha mendapatkan beasiswa untuk membiayai sekolahnya.

Ketika sekolah di SMP Immanuel Pontianak, Dewi pernah menunggak uang sekolah hingga akhirnya mendapatkan beasiswa.

Ketika pindah ke Tangerang dan menempuh studi di SMAK Penabur Gading Serpong, ia kembali meraih beasiswa. Ia juga bekerja sambilan sebagai guru les privat untuk mencari uang tambahan guna keperluan hidup jauh dari orangtuanya.

(Baca juga kisah kedua Kisah Dewi Suryana: Dari Keluarga Sederhana, Lulus Memuaskan di Singapura [1])

Ketika diterima kuliah di Nanyang Technological University di Singapura, ia kembali mendapatkan beasiswa dari pemerintah Indonesia.

Namun, pencairan beasiswa ini rupanya sering telat sehingga membuat dia harus berjuang bertahan hidup di awal-awal perkuliahannya.

Dengan kondisi keuangan keluarganya yang terbatas, keterlambatan beasiswa ini menjadi mimpi buruk bagi Dewi mengingat biaya hidup di Negeri Singa serba mahal.

Gadis kelahiran 9 September 1995 itu harus berhemat luar biasa menunggu pencairan beasiswa yang sering molor itu.

"Untuk makan sehari-hari, saya harus menanak nasi sendiri di kamar kos. Saya hanya datang ke kantin kampus membeli lauk seharga 1 dollar Singapura (sekitar Rp 10.000)," tutur Dewi kepada kontributor Kompas.com Ericssen di Singapura, awal September lalu.

Karena kebiasaannya membeli lauk seharga itu, penjual makanan di kantin kampus mengenalinya dan hafal lauk apa yang ingin dia beli.

"Biasa saya datang membawa kontainer lauk dan tante penjual itu sudah mengerti dan memberi saya lebih banyak porsi lauk daripada orang lain," ujarnya.

Sebagai manusia biasa, terkadang Dewi merasa iri melihat teman-temannya membeli makanan dengan lauk lengkap. Ada perasaan minder ketika ia datang di kantin hanya untuk membeli lauk yang itu lagi-itu lagi.

"Bagi mereka, nasi dengan lauk itu adalah hal yang biasa. Bagi saya, nasi dengan lauk yang lengkap adalah sesuatu yang istimewa, apalagi mengingat betapa sulitnya bagi saya dan keluarga ketika di Pontianak untuk makan 3 kali sehari," kenang Dewi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com